Memahami Netiket dan Fatwa MUI Bermedia Sosial
- www.pixabay.com/geralt
VIVA.co.id – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan pedoman berkomunikasi di media sosial melalui Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Pedoman bermedia sosial ini diteken pada 13 Mei 2017 oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin dan Sekretaris, Asrorun Ni'am Sholeh.Â
MUI mengeluarkan fatwa ini, lantaran melihat dinamika penggunaan media sosial dan digital tak disertai tanggung jawab, sehingga kerap menjadi sarana penyebaran informasi palsu (hoax), fitnah, ghibah (penyampaian informasi faktual seseorang atau kelompok yang tak disukai), namimah (adu domba), gosip, pemutarbalikan fakta sampai ujaran kebencian dan permusuhan.
Direktur Eksekutif ICT Watch, Donny BU menilai fatwa tersebut terbilang normatif. Pedoman yang ada dalam fatwa MUI itu sebenarnya bukan hal baru dan sudah ada dalam ketentuan pedoman lain yakni netiket atau etika berinternet.
Dikutip dari ICT Watch, netiket media sosial merupakan semacam aturan yang digunakan di situs jejaring sosial. Mulai dari bagaimana menyapa teman, mengomentari statusnya, mention seseorang, atau mengirim DM ke teman Twitter, dan banyak lagi.Â
Situs media sosial merupakan situs User Generated Content, yakni kontennya dihasilkan oleh para penggunanya platform atau situs. Berarti banyak sekali orang dari berbagai kalangan bertemu di sana, saling berinteraksi. Maka jika tidak ada netiketnya, bisa-bisa terjadi banyak pertengkaran dan salah paham satu sama lain.
Netiket media sosial meliputi jangan berbohong, jangan membenci, saling berbagi, jangan mengutuk, jangan melecehkan, berbagi info akurat, perbaiki kesalahan, hormati privasi, dan pertimbangan matang sebelum unggah atau posting.Â
Menurutnya, perbedaan netiket dan fatwa atau swa regulasi terletak pada sifatnya.Â
"Kalau netiket kan sifatnya konsensus, kesepakatan bersama untuk dipatuhi bersama. Tidak ada konsekuensi jika tak dipatuhi. Ya paling (dampaknya) dikucilkan," ujar Donny kepada VIVA.co.id, Selasa 6 Juni 2017.Â
Sementara itu, pedoman dalam bentuk fatwa, menurutnya, punya konsekuensi bagi umat yang berpegangan pada aturan dari majelis ulama tersebut, dalam hal ini adalah umat Islam. Konsekuensi atas fatwa yakni soal halal melawan haram dan pahala melawan dosa.Â
Dalam konsekuensi haram atau dosa, maka akan membuat yang menjalaninya harus bertobat. Donny menilai dimensi konsekuensi dari fatwa lebih pada urusan keyakinan atas aturan dari pemuka agama tersebut.Â
"Namun (fatwa) esensi yang dibungkusnya sama dengan netiket, yakni panduan hubungan antarmanusia di internet," tutur pendiri gerakan Internet Sehat itu.Â
Dia menuturkan, selain netiket dan fatwa, ada bentuk panduan bermedia sosial yaitu regulasi pemerintah.Â
Pedoman dari pemerintah ini, ujarnya, lebih punya konsekuensi yang tegas. Misalnya jika melanggar maka konsekuensinya diatur, apakah kena pasal perdata maupun pidana.Â
"Bisa juga konsekuensinya denda administratif, kerja sosial, permintaan maaf terbuka," kata dia.Â
Donny memandang netiket, fatwa, dan regulasi pemerintah adalah bentuk panduan bermedia sosial, namun dengan level konsekuensi yang berbeda. Saat ini, menurutnya, regulasi dari pemerintah sudah ada yakni Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keberadaan panduan berkomunikasi di media sosial itu memang penting, namun idealnya diimbangi dengan pemberdayaan masyarakat. Sebab sukses atau tidaknya ragam panduan itu bisa ditentukan sejauh mana kemampuan masyarakat memahami panduan tersebut.Â
"Kemampuan 'membaca' ini lah yang disebut dengan literasi. Literasi apa? Ya literasi digital khususnya," tuturnya.Â
Menurutnya, antara ragam panduan dan literasi harus saling berkontribusi maksimal dan proaktif untuk mewujudkan masyarakat dengan kualitas pemahaman digital yang lebih baik.Â