Orang Ateis Lebih Cerdas dari Beragama, Benarkah?
- uniteunderfreedom.com
VIVA.co.id – Selama lebih dari satu milenium, para ilmuwan telah memerhatikan korelasi yang aneh, yakni ateis atau tidak beragama cenderung lebih cerdas daripada orang-orang religius atau beragama.
Tidak jelas mengapa tren ini terus berlanjut. Namun sebuah studi baru memiliki gagasan bahwa 'agama adalah naluri', dan orang-orang yang bisa melampaui naluri lebih cerdas daripada mereka yang mengandalkannya.
Menurut peneliti dari Institut Penelitian Sosial Ulster, Inggris, Edward Dutton, orang-orang yang tidak beragama berpikiran lebih rasional daripada saudara-saudara mereka yang religius.
"Oleh karena itu, mereka meyakini dan memiliki alasan untuk tidak ber-Tuhan," kata Dutton, seperti dikutip dari Livescience, Selasa, 6 Juni 2017.
Akan tetapi, Dutton, dalam penelitian terbarunya, menemukan bukti bahwa kecerdasan berhubungan positif dengan 'jenis bias tertentu'.
Ia pun memberi contoh sebuah studi pada 2012 yang diterbitkan 'Journal of Personality and Social Psychology', yang menunjukkan bahwa mahasiswa sering mendapatkan jawaban logis namun salah dan mereka tidak menyadarinya.
"Inilah yang disebut 'bias blind spot'. Itu terjadi ketika orang tidak dapat mendeteksi bias, atau kekurangan, dalam pemikiran mereka sendiri. Jika ada maka 'bias blind spot' yang lebih besar dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang lebih tinggi," ujarnya.
Dutton melanjutkan, jika orang cerdas cenderung tidak memahami bias mereka sendiri. Itu berarti mereka kurang berpikiran rasional dalam beberapa hal. "Jadi, mengapa kecerdasan berhubungan dengan ateisme? Jawabannya sama dengan apakah agama itu naluri? Dibutuhkan kecerdasan untuk mengatasi naluri," tutur dia.
'Insting religius'
Di masa Yunani dan Roma Kuno, beredar kabar bahwa 'orang bodoh' cenderung religius, sementara 'orang bijak' sering skeptis. Dutton dan para ilmuwan menjalankan meta-analisis terhadap 63 studi, dan menemukan bahwa orang-orang religius cenderung kurang cerdas daripada orang-orang ateis.
Dosen Filsafat Sains dari Universitas Oxford, Inggris, Nathan Cofnas, justru melakukan pendekatan melalui 'insting religius' (naluri beragama). "Jika agama memiliki dasar instingtual, maka orang yang cerdas akan lebih mampu menerima dan mengadopsi ateisme," kata Cofnas.
Namun begitu, tanpa mengetahui sifat yang tepat dari 'insting religius', ia mengaku tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa atheisme memanfaatkan naluri yang sama.
Cofnas mencontohkan penulis Christopher Hitchens berpikir bahwa komunisme adalah agama, atau gerakan sekuler seperti veganisme. Menurutnya, gerakan keagamaaan dan nonreligius bergantung pada iman yang mengidentifikasi dengan komunitas yang sepaham dan fanatik.
"Saya pikir itu menyesatkan untuk menggunakan istilah 'agama' sebagai dalih untuk apapun yang tidak Anda sukai," kata Cofnas. Lalu, adakah kaitan antara naluri dan stres?
Dutton menekankan bahwa orang cenderung beralih ke agama ketika mengalami masa-masa sulit, seperti misalnya menghadapi kematian. Sebab, naluri mereka menganggap agama sebagai pemecah masalah (problem solving) yang lebih baik.
Ia juga berpendapat bahwa kecerdasan membantu orang naik di atas naluri ini selama masa stres. "Jika agama benar-benar sebuah domain yang berkembang - sebuah naluri - maka akan semakin tinggi pada saat stres. Orang cenderung bertindak secara naluriah, dan ada bukti jelas untuk ini," kata Dutton. (ase)