Hak untuk Dilupakan, Warga Bisa Cuci Dosa di Dunia Maya
- VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto
VIVA.co.id – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik hasil revisi telah berlaku mulai pekan ini. Ada beberapa perubahan dan penambahan dalam UU tersebut. Salah satu penambahan yang muncul di UU tersebut adalah ketentuan hak untuk dilupakan atau right to be forgotten.
Hak untuk dilupakan maksudnya adalah setiap warga negara berhak meminta penghapusan 'jejak hitam'nya dari dunia maya. Jejak hitam yang dimaksud, baik foto, artikel yang bernada buruk tentang dirinya, postingan status yang mencemarkan nama baiknya, atau lainnya yang dianggap merugikan diri seorang warga.
Namun ketentuan baru tersebut mendapat kritik dari pegiat dan aktivis kebebasan ekspresi. Ketentuan right to be forgotten itu dianggap terlalu tergesa-gesa, tidak melihat kesiapan ekosistem perlindungan data pribadi di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menjelaskan, aturan hak untuk dilupakan pada pasal 26 UU ITE nantinya akan diperjelas dalam aturan turunan.
"Nanti akan diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri," jelas Rudiantara ditemui usai acara Mastel di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis 1 Desember 2016.
Soal gambaran teknis pengaturan hak untuk dilupakan itu, Rudiantara mengaku belum bisa bicara banyak. Tapi secara prinsip, aturan turunan hak untuk dilupakan akan 'mencuci dosa' nama seseorang dari informasi di dunia maya.
"Intinya secara filosofi, jika nanti ada seseorang yang dihukum kemudian diputus inkrach bebas maka akan ada normalisasi dengan meminta pengadilan menetapkan penghapusan tersebut," jelasnya.
Sebelumnya Kepala Divisi Riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Asep Komarudin menilai penambahan ‘right to be forgotten’, atau hak untuk dilupakan dalam pasal 26 UU ITE itu tak jelas.
Dia mengakui, hak untuk dilupakan punya semangat menghargai hak asasi manusia di dunia maya, namun lebih bagus, jika ketentuan hak untuk dilupakan itu dimasukkan dalam UU khusus terkait perlindungan data pribadi.
Ketentuan 'hak untuk dilupakan' yang ada di UU ITE, menurut Asep, tak memenuhi ketentuan yang sama yang telah berlaku di Eropa. Dia menjelaskan, 'hak untuk dilupakan' di Eropa hadir dengan dukungan sistem perlindungan data pribadi yang sudah kuat.
Masalah lainnya, yakni belum ada gambaran yang jelas bagaimana nanti penentuan dan jenis informasi pribadi yang boleh dilupakan, terus bagaimana nanti teknis penghapusannya apakah di mesin pencarian, atau di portal berita.
"Sebatas mana penentuan identitas pribadi, kategorinya bagaimana, terus apakah kita nanti memintakan (penghapusan) ke pengadilan dan bagaimana eksekusi, transparansinya. Jadi ini tergesa-gesa memasukkan hak untuk dilupakan," ujarnya.