Terungkap, FBI Retas 8.000 Komputer di 120 Negara
- REUTERS/Javier Galeano
VIVA.co.id – Januari lalu, situs Motherboard menuding FBI telah melakukan peretasan terhadap ribuan komputer, hanya dengan surat perintah tunggal untuk sebuah kasus. Kini diketahui jika jumlah komputer yang telah diretas mencapai 8.000 unit yang tersebar di 120 negara di dunia.
Hal ini terungkap dalam transkrip sidang pembuktian terkait dengan kasus pornografi anak yang melibatkan situs Playpen. Situs itu hanya bisa diakses di dark web, atau suatu sudut web yang tidak bisa terdeteksi atau jauh dari pengawasan pemerintah.
"Kami tidak pernah, dalam sejarah bangsa ini sejauh yang saya tahu, menggunakan satu surat perintah untuk meng-hack banyak komputer yang tidak terkait sama sekali dengan kasus ini," ujar jaksa penuntut umum, Colin Fieman, dalam transkrip hearing yang digelar Oktober lalu.
Dijelaskan dalam transkrip tersebut, dikutip melalui Motherboard, Rabu, 23 November 2016, kasus ini bermula ketika FBI ingin menyelidiki situs Playpen. Pada Februari 2015, FBI memutuskan untuk membekukan situs itu. Namun bukannya dimatikan, FBI malah mengoperasikan Playpen menggunakan server pemerintah, selama 13 hari.
Namun saat dioperasikan dengan server pemerintah, FBI belum bisa mendapatkan alamat IP dari para pengunjung Playpen karena sifatnya yang menggunakan dark web melalui jaringan TOR, yang memungkinkan pengguna mengunjungi situs secara anonim.
FBI pun menggunakan cara yang dinamakan network investigative technique (NIT), atau menempatkan malware pada komputer para pengunjung. Malware tersebut ternyata berisi perusak browser TOR dan bisa masuk ke komputer pengguna yang mengklik konten Playpen. Saat sudah masuk, malware akan mengirimkan alamat IP pengunjung ke server FBI.
Menurut transkrip hearing itu, terdeteksi ada 1.000 alamat IP yang berasal dari Amerika. Seiring berjalannya waktu, aksi peretasan FBI itu terus meluas ke 120 negara, termasuk Australia, Austria, Chile, Colombia, Denmark, Yunani, Inggris, Turki dan Norwegia.
"Fakta yang menunjukkan bahwa satu surat perintah bisa digunakan untuk meretas 8.000 orang di 120 negara, itu sangat menyeramkan," kata pengamat teknologi, American Civil Liberties Union (ACLU), Christopher Soghoian.
Sayangnya, dalam transkrip itu tidak disebutkan secara detail 120 negara yang dimaksud. Belum diketahui apakah Indonesia termasuk di dalamnya.