Teknologi Tak Jamin Pemerintahan Makin Terbuka
- Viva.co.id/Amal Nur Ngazis
VIVA.co.id – Keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) kini telah menjadi medium bagi pemerintah untuk memudahkan warganya menyalurkan keluhan dan aduan. Sayang, TIK dianggap tidak menjamin pemerintah bisa terbuka kepada warga.
Penggunaan platform TIK sudah dipakai oleh beberapa pemerintah daerah dan kepala daerah di Indonesia. Tujuannya bagus, yakni mempercepat penyampaian laporan. Namun demikian, tak semua daerah di Indonesia siap menerima platform TIK untuk menjadi saluran keluhan atau aduan warga.Â
Hasil survei lembaga riset independen Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) menunjukkan masing-masing daerah memiliki karakteristik, dan dengan demikian pemerintah daerah perlu memahami pendekatan yang kontekstual untuk menyediakan saluran aduan yang cocok bagi warga mereka.Â
Dalam surveinya, CIPG menemukan teknologi bukan jaminan bagi pemerintahan terbuka dan partisipasi tinggi warga.
Sebab, mereka menemukan, penggunaan TIK belum menjamin kanal pengaduan akan digunakan warga. CPIG menyarankan kepala daerah untuk memahami teknologi apa yang lebih optimal bagi warga mereka.
"Kepala daerah harus mengetahui bagaimana cara komunikasi yang umum dilakukan warganya. Jadi perlu menggabungkan komunikasi online dan offline," ujar Fajri Siregar, Direktur Eksekutif CIPG di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 22 November 2016.Â
Fajri mengatakan, dalam surveinya, mereka mengukur penggunaan TIK sebagai kanal pengaduan beberapa pemerintah daerah, salah satunya adalah Kabupaten Bojonegoro.Â
Di daerah ini, menariknya, medium yang optimal dipakai untuk kanal pengaduan adalah radio, SMS dan dialog publik untuk tatap muka Bupati dengan warganya, setiap usai Salat Jumat.Â
Penggunaan media sosial sebagai kanal pengaduan, baru dikembangkan Pemda Bojonegoro belakangan ini.
Dia mengakui platform teknologi misalnya media sosial memang cocok diterapkan di kota besar maupun Ibu Kota. Namun cara itu belum tentu berhasil di kota kecil maupun di daerah, terutama yang warganya belum memiliki penetrasi internet tinggi.
Untuk itu, CIPG merekomendasikan Pemda untuk mengolaborasikan kanal pengaduan di media sosial dengan dialog langsung pemimpin daerah dengan warganya.
"Misalnya di Papua yang penetrasi dan infrastrukturnya belum merata, perlu pendekatan lain. Bisa dialog pemimpin daerah setelah ibadah Minggu atau usai misa. Memang perlu pendekatan budaya," jelasnya.Â
Sementara itu, Direktur operasional CIPG, Mona Luthfiana usmani mengatakan, TIK memang bukan jaminan, selama warga belum bisa beradaptasi.Â
Menurut Mona, keberadaaan TIK hanya memperkuat sistem pengaduan yang dikembangkan Pemda, namun belum tentu warga mampu mengadaptasi TIK tersebut.Â
Dalam titik ini, kata dia, komitmen Pemda menjadi hal yang penting. Kepala daerah harus memahami apakah daerahnya siap atau tidak dengan saluran TIK yang disiapkan. Jika memang, daerah belum siap, maka tak ada pilihan lain, komunikasi konvensional lebih cocok dioptimalkan sebagai kanal pengaduan.Â
Fajri menambahkan, CIPG berpandangan bahwa sistem tata kelola yang bagus untuk menjadi wadah pengaduan warga yaitu pendekatan praktik dan sistem.Â
Pendekatan sistem maksudnya, pemerintah harus mampu membuat sistem yang tersentralisasi berupa pengumpulan aduan dan keluhan warga dalam bentuk database. Sedangkan pendekatan praktik, maksudnya yaitu langkah desentralisasi, menjalankan pola yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat. (ase)