YLKI: Pulsa Jadi Adiksi, Fenomena Mengerikan
- VIVA.co.id/Raudhatul Zannah
VIVA.co.id – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan bahwa telekomunikasi menyumbang sebagai salah satu komoditas pokok yang 'menyandera' masyarakat Indonesia. Hal itu berupa pulsa, yang bersanding dengan beras dan rokok sebagai komoditas yang membuat rakyat gerah.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan, merunut pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan masyarakat miskin, mayoritas dihabiskan untuk keperluan membeli beras di urutan pertama. Menyusul untuk rokok dan ketiga mengenai pulsa.
Hal itu diperkuat dengan survei dari Nielsen yang menyebutkan kalau masyarakat Indonesia lebih rela mengurangi belanja daripada mengurangi konsumsi pulsa untuk keperluan komunikasi melalui perangkatnya.
"Pulsa menjadi adiksi sebagaimana halnya rokok. Fenomena yang agak mengerikan. Alokasi pendapatan (masyarakat Indonesia) habis untuk beli pulsa," ucap Tulus di acara "Mendorong Efisiensi Berkeadilan Industri Telekomunikasi Nasional" di Hotel Intercontinental Midplaza, Jakarta, Kamis, 3 November 2016.
Berdasarkan data profil keluhan konsumer pada 2015, sektor telekomunikasi berada di urutan ketiga dengan 8,06 persen di belakang perbankan 17,09 persen, dan perumahan dengan 15,53 persen. Sementara itu, pada semester pertama 2016, telekomunikasi menurun menjadi posisi empat dengan 6,8 persen, di depannya ada e-commerce 11 persen, perumahan 16 persen, dan perbankan 19,8 persen.
Untuk permasalahan telekomunikasi ini, YLKI menghimpun persoalan yang dikeluhkan oleh konsumen, di antaranya yang paling teratas 18 persen mengeluh informasi tarif dan paket tidak transparan. Kemudian, 13 persennya untuk keluhan di kehilangan/pencurian pulsa, kualitas jaringan yang buruk, dan kehilangan pulsa akibat konten premium.
"Ini informasi keluhan untuk semua operator," ucap Tulus mencoba untuk menjelaskan lebih detail permasalahan telekomunikasi.
Pada kesempatan itu, Tulus mengingatkan bahwa operator jangan hanya membangun infrastruktur jaringan di daerah gemuk atau wilayah yang padat penduduknya.
"Tapi ke daerah lain juga yang punya kapasitas baik. Seperti SPBU asing, tidak buka cabang di daerah pinggiran," ujarnya.