Analis: Network Sharing Buka Peluang Saling Rebut Pelanggan

Ilustrasi menara BTS.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhammad Firman

VIVA.co.id – Draf revisi PP telekomunikasi telah beredar di kalangan industri. Namun mengenai isi draf itu, Menkominfo Rudiantara tidak mau berkomentar. Malah dia mempertanyakan darimana draf tersebut berasal.

Backup Pusat Data Nasional Hanya 2%, Najwa Shihab: Sejak Kapan Kita Dianggap Penting?

"Kalau memang dari Kemenko Perekonomian, bisa tanya ke sana. Tapi intinya, semua juga harus izin menteri pada akhirnya, walaupun (kerja sama) B2B (business to business), tetap harus ada izin menteri. Menteri kan pada saat melihat, pasti memiliki justifikasi. Nanti saja, tunggu dahulu," ujar Rudiantara, ditemui usai raker dengan DPR-RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu, 28 September 2016.

Intinya, kata Rudiantara, aspek bisnis dilakukan oleh operator sedangkan aspek kebijakan adalah oleh regulator. Namun begitu, tetap saja Rudiantara mengarahkan agar pertanyaan itu ditanyakan ke Menko Perekonomian.

Gelombang PHK Startup Unicorn dan Decacorn, Ini Nasihat Eks Menkominfo

"Yang neken bukan saya. Kalau Permen mengenai Kominfo, boleh tanya. Kalau yang tanda tangan presiden, masa saya yang jawab," kata dia.

Tanggapan analis

Jangan Ada Kanibalisme di Industri Telekomunikasi

Rencana pemerintah untuk mempercepat penyebaran layanan telekomunikasi hingga pelosok Indonesia melalui network sharing dalam revisi PP No. 52 dan No. 53/2000 mendapat banyak tanggapan. 

Menurut Chief Economist Danareksa Research Institute Kahlil Rowter, kompensasi yang wajar sesuai dengan nilai keekonomian mutlak diperlukan agar keberlangsungan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia dapat terus terjaga. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menetapkan kewajiban berbagi jaringan dan biaya interkoneksi tanpa adanya kompensasi bagi operator.

"Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum terjangkau telekomunikasi. Jika tidak ada insentif dan kompensasi wajar, sesuai nilai ekonomi, pasti tidak ada operator yang mau. Kecuali untuk public service obligation dan kepentingan nasional. Jangan sampai, karena pemerintah memaksa menyediakan jaringan untuk operator lain, membuat pelanggan Telkom tidak terlayani dengan baik. Kebijakan ini tidak boleh merugikan pelanggan," kata Kahlil.

Perhitungan yang wajar menurut Leonardo Henry Gavaza CFA, analis saham Bahana Securities, adalah dengan menghitung nilai investasi yang telah dikeluarkan oleh operator penyelenggara jaringan ditambah dengan internal rate of return (IRR) atau economic rate of return (ERR).

Jika pemerintah tak memasukkan komponen IRR dalam penetapan network sharing, operator yang telah lebih dahulu membangun jadi tak memiliki competitive advantage lagi dikarenakan mereka hanya dipaksa membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi untuk operator lain.

"Operator lain berpotensi mengambil pelanggan operator yang ditumpangi, dengan demikian di satu sisi ada operator yang mengalami kenaikan pendapatan secara signifikan dibanding yang lainnya," ucap Leonardo.

Revisi kedua PP (PP No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP No. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit) kabarnya telah berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan pemeriksaan terakhir sebelum diajukan ke Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani. Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antaroperator.

"Sharing atas backbone bersifat mandatory (wajib) sedangkan sharing atas jaringan telekomunikasi bersifat business to business (B2B) dalam keadaan tertentu yang didasarkan atas penciptaan persaingan usaha yang sehat, pencapaian efisiensi, dan perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan," isi draf tersebut.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya