Komitmen Operator Telko Bangun Jaringan Dipertanyakan
- VIVA.co.id/Muhammad Hari Fauzan
VIVA.co.id – Dalam setiap layanan ke pelanggan, operator telekomunikasi membutuhkan jaringan agar bisa mencakup semua wilayah. Sayangnya, tidak semua operator telekomunikasi berani seperti Telkomsel, yang mengklaim membangun jaringan tanpa melihat untung rugi.
Dikatakan pihak Telkomsel, perusahaan plat merah itu selalu memastikan untuk memenuhi kewajiban lisensi modern yang telah diberikan pemerintah. Bahkan mereka selalu mengupayakan segalanya melebihi dari yang diwajibkan.
"Ada sekitar 700 BTS milik Telkomsel yang terpasang di perbatasan untuk menjaga kedaulatan NKRI. Telkomsel saat ini harus mensubsidi 17.168 BTS yang tersebar di pelosok hingga perbatasan. Itu sekitar 14 persen BTS terpasang yang posisinya merugi, dari total 116 ribu BTS. Tetapi kita harus tetap jaga layanan dan tak matikan. Soalnya begitu BTS terpasang ada ekosistem dan ekonomi yang bergerak, mulai dari pedagang pulsa dan lainnya," ujar Direktur Utama Telkom, Alex J Sinaga, dalam keterangan resminya, Sabtu, 27 Agustus 2016.
Seperti diketahui, Telkomsel merupakan anak usaha dari perusahaan BUMN telekomunikasi di Indonesia, Telkom. Pernyataan ini menjawab apa yang menjadi kegelisahan Anggota Komisi I DPR, Budi Youyastri saat rapat dengar pendapat dengan operator telekomunikasi digelar, terkait dengan kebijakan penurunan biaya interkoneksi yang ditetapkan pemerintah melalui Kominfo.
Dia menyebutkan, dalam RDP sebelumnya dengan Menkominfo Rudiantara, Kamis, 25 Agustus 2016, disebutkan jika pemerintah tidak pernah meminta Telkomsel untuk membangun di area remote. Bahkan dia mengaku penasaran dengan modern lisensi yang dimiliki Telkomsel karena banyak kalangan menganggap operator ini terlalu agresif membangun jaringan bahkan di area yang tak menjadi kewajibannya yakni di daerah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Isu membangun BTS hingga ke perbatasan yang tak menjadi kewajiban ini sangat penting untuk dicatat. Kami ingin Anda berikan modern lisensi itu ke kami agar kita bisa pelajari. Soalnya waktu rapat dengan Menkominfo, dibilang tak pernah minta Telkom bangun daerah pelosok dan perbatasan," katanya.
Budi juga mempertanyakan komitmen operator selain Telkomsel untuk membangun jaringan telekomunikasi di seluruh Tanah Air. Saat mendapat lisensi, seluruh operator telekomunikasi telah menyatakan komitmennya membangun jaringan telekomunikasi di seluruh Nusantara.
"Ini kan semua operator mendapat lisensi nasional. Jadi pasti ada komitmen untuk membangun di Papua, Maluku, Ternate, Alor, dan wilayah Indonesia timur lainnya. Coba kasih ke kami komitmen itu. Dan ini ada Telkomsel malah bangun hingga 700 BTS di perbatasan, padahal menterinya tak minta,” kata Budi.
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada Rabu, 23 Agustus lalu, Menkominfo Rudiantara menegaskan tak pernah meminta Telkom Group untuk membangun daerah remote
"Saya tak pernah meminta Telkom membangun remote area. Kalau kebetulan dibangun, barangkali dari BUMN atau masyarakat di daerah meminta dibangun," katanya.
Untuk diketahui, faktor BTS Telkomsel yang menyebar ke pelosok hingga perbatasan salah satu pemicu adanya perbedaan hitungan antara Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Telkom Group di revisi biaya interkoneksi.
Di utilisasi jaringan Geotype sub urban dan rural pemerintah menganggap sudah tergunakan 80 persen di tahun 2018. Padahal fakta di lapangan di area sub urban dan rural utilisasi maksimal bervariasi 6,3 sampai 20 persen di tahun 2018.
Dampak perbedaan perkiraan ini terjadi perbedaan perhitungan di biaya interkoneksi lokal di mana versi Kominfo bisa menjadi Rp204 sementara versi Telkom Group di Rp285.
Menurut Anggota Komisi I DPR Evita Nursanty biaya interkoneksi adalah cost recovery. Telkom dan Telkomsel memiliki cost recovery tinggi, Rp285, karena membangun di seluruh Indonesia hingga ke daerah-daerah terpencil. Sedangkan cost recovery operator lain jauh di bawah Telkom Group, yakni Rp120. Sebab hanya membangun di kota-kota besar. Cost recovery Indosat Rp86, XL Rp65, Smartfren Rp100, dan Tri Rp120.
"Tidak wajar operator yang sudah membangun hingga ke pelosok negeri dengan biaya besar, tarifnya disamakan dengan operator lain, yang irit bangun jaringan. Kalau bangun jaringannya sedikit, lalu ingin minta yang banyak, itu tidak fair," tegasnya.