Drone Hanya Bisa Terbang Setinggi 150 Meter, Batasi Pers?

Drone yang diterbangkan dekat Gedung Putih.
Sumber :
  • US Secret Service

VIVA.co.id - Sejumlah jurnalis pengguna drone atau pesawat nirawak berdiskusi dengan Dewan Pers mengenai batasan penggunaan teknologi mutakhir ini.

Drone Amfibi Penjaga Wilayah RI Kantongi Sertifikat Militer

Diskusi ini menyusul keluarnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia yang terbit 12 Mei 2015 lalu.

Permenhub ini mengatur, terdapat sejumlah kawasan yang sama sekali tidak ada yang boleh ada yang terbang di atasnya atau diistilahkan sebagai prohibited area. Contohnya adalah Istana Negara.

Kemudian ada juga kawasan restricted atau terbatas. Kawasan ini seperti instalasi militer, yang penerbangan harus ada izin khusus. Kemudian ada juga kawasan keselamatan operasi penerbangan seperti bandar udara, di mana setiap penerbangan harus melalui mekanisme air traffic controller yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.

Penerbangan drone dibolehkan di wilayah yang disebut controlled airspace yang berada di bawah ketinggian 150 meter dari permukaan. Jika terbang di luar wilayah itu, harus mendapatkan izin dari Kementerian Perhubungan.

Saat membuka diskusi, anggota Dewan Pers Ridlo Eisy menyatakan pada prinsipnya kebebasan pers hanya dibatasi hak orang lain dan rahasia negara. Selain itu, juga ada etika yang harus diperhatikan dalam penggunaan teknologi seperti drone.

"Misal, ada drone meliput kecelakaan, di mana ada hal sadistis, maka itu jelas melanggar etika," kata Ridlo.

Anggota Dewan Pers yang lain, Imam Wahyudi, menyatakan ada dua dimensi dari drone ini, yaitu soal keamanan-keselamatan, dan soal konten. Kedua faktor ini silang sengkarut sehingga sulit dilepaskan satu sama lain.

Namun Imam menyatakan, penekanan drone haruslah pada aspek keamanan-keselamatan, bukan konten. "Pembatasannya haruslah fokus pada alat, apakah yang menggunakannya cakap," kata Imam.

Eddy Hasby, fotografer Kompas yang juga kerap menggunakan drone, menyatakan pembatasan terbang maksimal 150 meter kerap diterobos jurnalis di lapangan. Menurutnya, hal ini karena kepentingan jurnalis mendapatkan angle atau sudut pandang yang dibutuhkan publik.

Eddy lalu mencontohkan rekaman drone yang dilakukan Kompas saat meliput pembukaan Tol Cikopo-Palimanan menjelang Lebaran lalu. Untuk mengambil gambar dari atas persimpangan di tol terbaru di Indonesia itu, drone harus naik sampai melampaui 150 meter.

Direktur Navigasi Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Novie Riyanto, menyatakan Kementerian Perhubungan terbuka untuk menerima masukan perubahan atas peraturan ini. Namun Novie menegaskan, peraturan ini dibuat berdasarkan aturan keselamatan transportasi udara dan keamanan negara.

"Di luar itu, bukan domain kami," kata Novie.

Diskusi akhirnya ditutup dengan permintaan dari anggota Dewan Pers Imam Wahyudi kepada para jurnalis pengguna drone. "Silakan kirimkan belanja masalah, biar nanti dikumpulkan," kata Imam.

Belanja masalah itu nanti akan menjadi bahan untuk penyusunan pedoman peliputan drone yang akan disusun Dewan Pers bersama sejumlah pihak pers. (ase)