Teater di AS Sediakan Kursi Khusus Twitter

Pentas teater di Broadway, New York.
Sumber :
  • broadwaytheater-reviews.com

VIVAnews - Disukai atau tidak, bagi sebagian orang Twitter sudah menjadi kebutuhan. Men-tweet, kini layaknya makan dan minum, sebuah kebiasaan yang lebih dari sekadar tanda eksistensi diri semata.

Sadar akan hal ini, sejumlah teater di Amerika Serikat kini menyediakan kursi khusus untuk penonton yang ingin ber-Twitter. Penonton pun bisa segera men-tweet komentar, atau menguraikan pertunjukkan itu di laman timelime Twitter mereka.

Seperti dikutip dari laman Fortune, pihak teater berharap cara ini bisa menjadi marketing ketuk-tular atau buzz marketing dalam memikat calon penonton baru, yang belum pernah menonton teater sebelumnya. Sejumlah teater besar sudah menyediakan bangku men-tweet ini, antara lain Norma Terris Theater di Connecticut, the Carolina Ballet di Raleigh, North Carolina, dan Dayton Opera di Ohio.

Sejumlah teater lain pun bahkan dikabarkan sedang menyiapkan konsep serupa, bahkan memasang antena tambahan memperkuat sinyal ponsel di dalam teater.

Walau begitu, penonton tetap tidak diperbolehkan berbicara selama pertunjukan berlangsung. Aktivitas dengan menggunakan seluler hanya bisa digunakan melalui teks.

Walau terkesan modern, tapi usulan ini ditentang sejumlah orang yang lama bergelut dengan dunia seni pertunjukan. "Ini adalah gelombang masa depan yang kami khawatirkan tentang cara menarik perhatian orang," kata John Haynes, salah seorang direktur eksekutif Tateuchi Center, gedung pertunjukan di Seattle, seperti dikutip dari New York Times.

"Sederhana, ini harus dilarang. Hal-hal yang membuat malu seperti itu tak seharusnya dibiarkan," lanjut Haynes.

Tak hanya itu, pencinta pertunjukan orkestra, Irene Friedman, juga mengeluhkan orang yang men-tweet di sampingnya, padahal konser tengah berlangsung.

"Jempol mereka bergerak lebih cepat dari jari-jari para pemain biola. Mereka menanggapi satu sama lain dengan membaca layar di ponselnya. Mereka bahkan tidak bisa lepas dari ponselnya saat penonton memberikan applause di tiap sesi," ucap Irene Friedman, seperti dikutip dari USA Today.

"Faktanya, mereka hanya sibuk dengan perangkat mobile-nya. Mereka bahkan tak melihat apa yang sedang terjadi di panggung," jelas Friedman.

Sebuah survei yang dilakukan laman teknologi Mashable kemudian memperlihatkan, sebagian besar menyatakan tidak setuju adanya kursi khusus men-tweet di gedung pertunjukan.

Sebanyak 60 persen dari 500 responden menyatakan tidak setuju. Sedangkan yang setuju hanya sekitar 26 persen. Adapun mereka yang tidak peduli sebesar 14 persen.

Proses integrasi jejaring sosial dan seni pertunjukan tentu membutuhkan pendekatan yang tepat. Seperti diucapkan John Haynes, "ini bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dalam semalam".

Mengenal Marketing Mix, Strategi Perusahaan untuk Jangkau Pasar yang Lebih Luas