Jangan Abai Deteksi Dini Kanker
- Pixabay
Jakarta, VIVA – Kanker payudara masih menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia. Data Global Cancer Observatory pada 2022 mencatat bahwa kanker payudara menempati peringkat pertama dengan jumlah kasus baru terbanyak di Indonesia, yaitu 66.271 kasus atau 16,2 persen dari total 408.661 kasus yang terjadi.
Selain itu, kanker payudara juga menjadi penyebab utama kematian akibat kanker pada perempuan. Dengan demikian, deteksi dini menjadi langkah penting memerangi kanker payudara. Perempuan dianjurkan rutin melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI), serta Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) melalui USG payudara dan mammografi.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merekomendasikan wanita berusia 30 tahun ke atas untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap 1-3 tahun sekali sebagai bagian dari upaya deteksi dini.
Di samping itu, bagi mereka yang memiliki faktor risiko tinggi, seperti riwayat keluarga dengan kanker payudara, skrining sebaiknya dilakukan lebih awal. Melalui deteksi dini, kanker dapat diidentifikasi lebih cepat, sehingga memungkinkan intervensi medis yang lebih efektif.
Internist-Hematologist Oncologist MRCC Siloam Hospital, Jeffry Beta Tenggara, menjelaskan bahwa dalam konteks kanker payudara, biopsi yang diikuti dengan pemeriksaan imunohistokimia (IHK) berperan penting dalam meningkatkan akurasi diagnosis.
Pemeriksaan ini memungkinkan ahli patologi anatomi mengidentifikasi subtipe molekuler kanker payudara secara lebih spesifik. Dengan demikian, IHK membantu dokter dalam menentukan rencana pengobatan yang lebih tepat, menyesuaikan terapi berdasarkan kategori kanker, dan memberikan kombinasi pengobatan yang lebih spesifik serta efektif.
Kanker payudara umumnya diklasifikasikan berdasarkan analisis imunohistokimia (IHK), yang menilai ekspresi reseptor hormon seperti estrogen (ER), progesteron (PR), serta faktor pertumbuhan epidermal manusia (HER2).
"Bagi pasien kanker payudara, status hormonal, dan HER2 adalah faktor penting dalam menentukan terapi pengobatan ke depannya. Ibarat mobil yang berbeda jenis bahan bakarnya, maka kanker juga demikian," kata Jeffry.
Menurutnya, apabila kanker tipe hormon, bahan bakarnya adalah hormon reseptor estrogen dan progesteron. Kalau tipe HER2, maka bahan bakarnya adalah protein yang berperan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel.
Berdasarkan status reseptor hormon, kanker payudara dikategorikan menjadi dua subtipe, yaitu Hormon Reseptor Positif (HR+) dan Hormon Reseptor Negatif (HR-).
Kanker payudara HR positif (HR+) umumnya diobati dengan terapi hormon untuk menghambat efek estrogen dan memperlambat pertumbuhan sel kanker. Sedangkan, kanker payudara HR negatif (HR-) biasanya diobati dengan kemoterapi, terapi target, dan dalam beberapa kasus, imunoterapi.
Dari sisi status HER2, kanker payudara diklasifikasikan menjadi HER2-positif dan HER2-negatif, berdasarkan skor kadar protein HER2 yang terdeteksi melalui pemeriksaan IHK.
Namun, perkembangan ilmu patologi dan kedokteran kini memperkenalkan klasifikasi baru, yaitu HER2-rendah, yang merujuk pada kanker dengan jumlah protein HER2 yang terdeteksi dalam kadar rendah.
"Dengan banyaknya jenis dan klasifikasi kanker payudara, penting bagi pasien untuk menjalani prosedur pemeriksaan yang menyeluruh agar terapi pengobatan yang diberikan tepat sasaran," jelas Jeffry.