Jejak Nenek Moyang di Raja Ampat Papua Barat
- www.albertkokuw.nl
Raja Ampat, VIVA – Di masa lampau, pelaut yang sangat terampil melakukan pelayaran berani dari Asia ke Kepulauan Pasifik. Migrasi yang penting secara global ini membentuk distribusi spesies manusia — Homo sapiens — yang tersebar di Bumi.
Para pelaut ini menjadi nenek moyang orang-orang yang tinggal di wilayah saat ini, dari Papua Barat hingga Aotearoa, Selandia Baru. Namun, bagi para arkeolog, waktu, lokasi dan sifat pasti, dari penyebaran maritim ini masih belum jelas.
Untuk pertama kalinya, sebuah penelitian baru memberikan bukti langsung bahwa pelaut melakukan perjalanan sepanjang garis khatulistiwa untuk mencapai pulau-pulau di lepas pantai Papua Barat pada 55 ribu tahun silam.
Pekerjaan lapangan arkeologi di Pulau Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat ini, seperti dikutip dari situs Livescience, Rabu, 28 Agustus 2024, melibatkan akademisi dari Selandia Baru, Papua Barat Indonesia, dan masyarakat sekitar.
Memetakan arkeologi Papua Barat sangat penting karena membantu peneliti memahami dari mana nenek moyang masyarakat Pasifik berasal dan bagaimana mereka beradaptasi untuk hidup di lautan kepulauan yang baru dan asing ini.
Para peneliti fokus pada penggalian di Gua Mololo - gua batu kapur raksasa yang dikelilingi hutan hujan tropis. Gua ini membentang hingga kedalaman 100 meter dan menjadi rumah bagi koloni kelelawar, biawak, dan ular.
Dalam bahasa setempat Ambel, Mololo berarti tempat bertemunya arus, nama yang tepat mengingat perairannya yang berombak dan pusaran air besar di selat di dekatnya.
Penggalian mengungkap beberapa lapisan hunian manusia yang terkait dengan artefak batu, tulang hewan, kerang, dan arang — semua sisa fisik yang dibuang oleh manusia purba yang tinggal di gua tersebut.
Temuan arkeologi ini jarang ditemukan di lapisan terdalam, tetapi penanggalan radiokarbon di Universitas Oxford Inggris dan Universitas Waikato Selandia Baru menunjukkan manusia telah hidup di Mololo setidaknya 55 ribu tahun sebelum masa sekarang.
Temuan utama dari penggalian tersebut adalah artefak resin pohon yang dibuat pada saat itu. Ini adalah contoh paling awal penggunaan resin oleh orang-orang di luar Afrika. Hal ini menunjukkan keterampilan rumit yang dikembangkan manusia untuk hidup di hutan hujan.
Analisis mikroskop elektron pemindai menunjukkan artefak tersebut diproduksi dalam beberapa tahap. Pertama, kulit pohon penghasil resin dipotong dan resin dibiarkan menetes ke bawah batang pohon dan mengeras. Kemudian, resin yang mengeras dibentuk.
Fungsi artefak tersebut tidak diketahui, tetapi mungkin telah digunakan sebagai sumber bahan bakar untuk api di dalam gua. Resin serupa dikumpulkan selama abad ke-20 di sekitar Papua Barat dan digunakan untuk api sebelum gas dan penerangan listrik diperkenalkan.
Studi tentang tulang-tulang hewan dari Mololo menunjukkan bahwa manusia memburu burung-burung darat, marsupial, dan mungkin kelelawar raksasa. Meskipun Pulau Waigeo merupakan rumah bagi hewan-hewan kecil yang sulit ditangkap, manusia beradaptasi dengan memanfaatkan sumber daya hutan hujan di samping makanan pesisir yang tersedia.
Ini adalah contoh penting dari adaptasi dan fleksibilitas manusia dalam kondisi yang menantang. Hal tersebut juga memiliki implikasi terhadap apakah manusia menyebabkan megafauna Oseania seperti kanguru raksasa (Protemnodon) dan wombat raksasa (Diprotodontids) menuju kepunahan, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan spesies hominin lain seperti hobbit (Homo floresiensis) yang hidup di kepulauan Indonesia hingga sekitar 50 ribu tahun lalu.
Para arkeolog telah mengusulkan dua koridor pelayaran hipotetis menuju Pasifik, yaitu rute selatan menuju Australia dan rute utara menuju Papua Barat.
Di wilayah yang saat ini merupakan Australia utara, penggalian menunjukkan manusia mungkin telah menetap di benua kuno Sahul, yang menghubungkan Papua Barat dengan Australia, sekitar 65 ribu tahun silam.
Namun, temuan dari Timor menunjukkan bahwa manusia baru berpindah melalui jalur selatan 44 ribu tahun lalu. Hal ini mendukung gagasan para peneliti bahwa pelaut paling awal menyeberang melalui jalur utara menuju Papua Barat, dan kemudian pindah ke Australia.
Yang terpenting, penelitian ini menunjukkan bahwa penduduk Papua Barat awal sudah canggih, sangat mobile, dan mampu merancang solusi kreatif untuk hidup di pulau-pulau tropis kecil.