Apakah Neraka Bisa Memiliki Atmosfer
- Atlas Obscura
VIVA Tekno – Apakah neraka bisa memiliki atmosfer? Neraka ternyata terdeteksi punya atmosfer. Bukan neraka setelah kematian, namun maksudnya adalah planet neraka sebagai istilah yang dipakai para ilmuwan luar angkasa untuk planet ekstrasurya yang sangat panas namun letaknya di luar Tata Surya.
Para peneliti yang menggunakan Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) akhirnya berhasil memecahkan misteri atmosfer planet ekstrasurya yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada 8 Mei di jurnal Nature, mereka mendeteksi bukti terbaik adanya atmosfer di sekitar 55 Cancri e di luar tata surya kita.
55 Cancri e adalah sebuah planet yang sangat panas karena berisi api. Diklasifikasikan sebagai "Bumi super berbatu”, planet ekstrasurya ini memiliki diameter dua kali lipat dari Bumi dan mengorbit bintangnya hanya pada jarak 4% dari jarak antara Merkurius dan Matahari. Permukaannya mungkin ditutupi oleh lautan magma cair, dengan suhu yang cukup panas untuk melelehkan besi.
Sejak 55 Cancri e ditemukan pada tahun 2004, para ilmuwan telah mencoba memahami berbagai aspek eksistensinya, seperti periode orbitnya, densitasnya, dan terutama atmosfernya.
Awalnya, para peneliti tidak yakin apakah planet ini bisa mendukung atmosfer; beberapa percaya bahwa planet ini terlalu panas dan terlalu dekat dengan bintangnya. Namun, bukti baru dari JWST menunjukkan bahwa 55 Cancri e memang diselimuti oleh lapisan gas, meskipun gas yang tidak biasa.
Petunjuk pertama bahwa planet neraka ini memiliki atmosfer berasal dari pengukuran suhu yang aneh. Menggunakan instrumen inframerah tengah (MIRI) milik JWST, para peneliti mengukur emisi termal dari sisi siang hari 55 Cancri e.
Jika planet ini tidak memiliki atmosfer, suhu siang harinya akan mencapai sekitar 4.000 derajat Fahrenheit (2.200 derajat Celsius). Namun, data MIRI menunjukkan suhu yang relatif rendah, sekitar 2.800 derajat Fahrenheit (1.500 derajat Celsius).
"Data MIRI menunjukkan suhu yang relatif rendah sekitar 2.800 derajat Fahrenheit [1.500 derajat Celcius]. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu – kemungkinan arus atmosfer – yang memindahkan panas dari sisi siang hari ke sisi malam di planet itu,” kata penulis utama studi Renyu Hu, seorang astronom di Laboratorium Propulsi Jet NASA yang dikutip dari Live Science pada Senin, 3 Juni 2024.
Selanjutnya, tim Hu menggunakan instrumen kamera inframerah-dekat (NIRCam) untuk menentukan elemen apa yang mungkin ada dalam atmosfer yang dicurigai ini. Mereka menemukan bukti adanya gas karbon dioksida atau karbon monoksida yang berputar di sekitar permukaan batuan cair planet ini.
Namun, para peneliti menduga bahwa lapisan gas ini bukanlah atmosfer asli sejak planet ini terbentuk. Atmosfer semacam itu akan dengan cepat dan secara kasar dilucuti oleh angin matahari dari bintangnya yang dekat.
Sebaliknya, mereka berpikir bahwa "atmosfer sekunder" yang kaya karbon ini muncul dari bagian dalam planet. Hal ini memungkinkan atmosfer untuk terus menerus mengisi ulang dirinya sendiri, bahkan saat gas-gasnya menguap.