Bising 'Predatory Pricing' Starlink
- Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden
VIVA Tekno – Layanan internet berbasis satelit asal Amerika Serikat (AS), Starlink, menjalankan bisnis di Indonesia setelah diresmikan oleh pemiliknya, Elon Musk, di Denpasar, Bali pada 19 Mei 2024.
Beroperasi atas nama PT Starlink Services Indonesia, sebagai perusahaan jasa internet atau PJI asing, mereka telah mengantongi Hak Labuh Satelit dan Izin Surat Radio Angkasa dengan masa berlaku satu tahun dengan enam jenis perangkat yang telah disertifikasi, termasuk antena gateway, router hingga antena user terminal.
Selain itu, Starlink sudah mendapat Surat Keterangan Laik Operasi untuk penyelenggaraan jaringan tertutup melalui VSAT dan penyelenggaraan jasa multimedia layanan akses internet serta izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup media VSAT dan penyelenggaraan jasa multimedia layanan akses internet.
Starlink juga diketahui memberikan potongan harga sebesar 40 persen untuk penjualan perangkat di Indonesia hingga 10 Juni 2024.
Dengan diskon tersebut, maka perangkat ini ditawarkan dengan harga Rp4,68 juta dari harga sebelumnya sebesar Rp7,8 juta.
Meski begitu, muncul tudingan kalau Starlink menjalankan praktik predatory pricing atau menjual produk di bawah harga modal dalam jangka waktu tidak terbatas.
Benarkah demikian?
"Bukan cuma itu. Si perusahaan harus punya kemampuan untuk memulihkan kerugian yang diderita selama masa predatory pricing dengan menetapkan harga yang sangat tinggi, harga monopoli kepada konsumennya. Untuk berhasil seperti itu, secara teori, akan sangat sulit," kata dia di Jakarta, Rabu, 29 Mei 2024.
Ine melihat jika praktik tersebut tidak lazim diterapkan di industri digital karena bersifat destruktif dan berbasis inovasi, sehingga pemain yang unggul dalam inovasi bisa menggantikan pemain lama.
Namun, pemain lama yang tersingkir, biasanya akan kembali melakukan riset dengan berusaha memproduksi produk baru untuk bersaing mengalahkan pemain unggul.
Ia mengatakan persaingan mencapai posisi monopoli dengan unggul dalam inovasi merupakan hal yang sah secara bisnis.
"Nah, untuk itu, persaingan yang lebih baik, mereka harus berubah perilakunya di dalam meningkatkan kualitas pelayanannya, di dalam meningkatkan kestabilannya, kemudian kecepatan dari pengunduhan atau download. Jadi, bersainglah dalam kualitas," tegas Ine.
Ia mengatakan jika langkah yang dilakukan Starlink di Indonesia bukan termasuk "predatory pricing" melainkan "promotional pricing" atau harga promosi, dan hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam bisnis.
"Mereka kan menetapkan harga diskon ada batas waktu. Itu bukanlah 'predatory pricing'. Kalau itu (predatory pricing) jika mereka menetapkan harga di bawah biaya dan dalam jangka waktu tidak terbatas sampai pesaingnya semua tersingkir dari pasar. Ini tidak menurut saya," ungkap Ine.
Dari pihak PT Starlink Services Indonesia menegaskan bahwa pihaknya telah memenuhi semua perizinan yang diperlukan untuk bisa beroperasi di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh tim kuasa hukumnya, Krishna Vesa dan Verry Iskandar."Status badan hukum dan perizinan Starlink itu semuanya sudah memenuhi ketentuan yang berlaku baik itu berlaku di Peraturan Kemenkominfo, izin-izinnya, badan hukumnya semua sudah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku," jelas Krishna.
Ia juga menegaskan bahwa Starlink tidak mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah dalam proses mendapatkan izin menjual layanan di Tanah Air.
Starlink, lanjutnya, sudah mengikuti prosedur yang sama seperti yang dilakukan perusahaan lain untuk mendapatkan izin sebagai perusahaan penyedia layanan internet di Indonesia.
Krishna juga mengatakan bahwa semua perizinan, termasuk network operations center (NOC) dan gateway station, sudah lengkap dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Semua infrastruktur yang diwajibkan peraturan perundang-undangan untuk ada di Indonesia itu ada semua, termasuk mekanisme pemblokiran konten ilegal itu bisa kita lakukan dari Indonesia, terus pengendalian trafik, keamanan semua yang diwajibkan kita bisa lakukan dari Indonesia," tutur dia.
Terkait tuduhan bahwa Starlink diduga menjalankan praktik predatory pricing, Krishna dengan tegas membantah hal tersebut.
"Tidak ada. Saat ini, tidak ada dan promosi yang dilakukan Starlink itu hal wajar yang diperbolehkan oleh hukum," tegasnya.
Menurut Verry Iskandar, promosi harga yang dilakukan Starlink adalah praktik bisnis yang sah dan memiliki batasan waktu, berbeda dengan predatory pricing yang biasanya tidak memiliki batasan waktu hingga pesaing tersingkir dari pasar.
Ia juga menekankan bahwa Starlink berkomitmen menyediakan layanan internet berkecepatan tinggi dan berkualitas tinggi di Indonesia, serta siap bekerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan efisiensi dan pelayanan terhadap konsumen.
"Jadi, terkait dengan 'predatory pricing' tadi memang sama sekali tidak ada," papar Verry.
Sementara Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Eugenia Mardanugraha mengatakan harga murah yang ditawarkan penyedia jasa internet berbasis satelit, Starlink, belum tentu tergolong dalam praktik predatory pricing.Menurutnya, praktik tersebut tidak hanya tentang harga jual yang lebih murah, tetapi ada sejumlah persyaratan lainnya yang harus dipenuhi untuk bisa disebut sebagai predatory pricing. "Karena, yang namanya 'predatory pricing' tidak sekadar harga murah," kata dia.