Jalan Berliku Penerapan Energi Baru Terbarukan
- ANTARA
VIVA Tekno – Perubahan energi konvensional ke energi baru terbarukan (EBT) tidak akan jalan jika ekonominya tidak tumbuh. Hal ini berdampak pada sektor energi. "Untuk itu, the way of thinking and the way of action. Kita harus berubah," kata Guru Besar UGM Tumiran.
Ia melanjutkan konsumsi energi Indonesia masih rendah dimana rata-rata per kapita hanya menghabiskan Rp150 ribu per bulan.
Tumiran mengaku tidak heran jika target pemerintah mewujudkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL 2021-2030 dengan target porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa mencapai 23 persen pada 2025 sulit terwujud.
Berdasarkan pencapaian Kinerja Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2022 dari Kementerian ESDM, bauran EBT masih jauh dari target, yakni baru 14,11 persen saja. Tidak heran jika target mencapai 2.500 kWh masih jauh untuk diraih pada tahun depan.
"Kita harus dorong pengembangan teknologi, meningkatkan daya saing produk domestik, keunggulan informasi, meningkatkan ekspor, dan memperbaiki investasi ke peranan nasional. Sektor industri menjadi penggerak untuk ekonomi kita supaya tumbuh agar konsumsi listrik terdorong bertumbuh," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau KADIN Pusat Jaya Wahono berharap dalam pengembangan EBT semua harus merasakan efek bertumbuh, bukan saja di Pulau Jawa.
Kerangka pembangunan rendah karbon terus digaungkan KADIN dalam upaya mendukung target pemerintah mewujudkan konsumsi EBT 2.500 kWh di 2025.
"Target EBT 23 persen kita masih jauh untuk dicapai. Ini pekerjaan rumah kita, bahwa dulu targetnya tidak realistis dan langkah konkretnya kurang. Tidak bisa hanya sebatas protes saja, harusnya kita mengambil langkah lebih bergegas untuk berubah. Tidak bisa lagi bergantung pada energi fosil," tegasnya.
Pria yang menjabat sebagai direktur utama Clean Power Indonesia yang bergerak di bisnis hijau ini berpendapat mestinya bio energi menjadi prioritas Indonesia dan menjadi keunggulan. Elektrifikasi roda dua, menurutnya, menjadi kebijakan yang tepat.
"Bahan bakar minyak (BBM) dari sepeda motor saja menghasilkan Rp7 triliun setiap harinya. Jika disubsidi ke listrik, tidak hanya menghemat energi tapi menciptakan tenaga kerja dan tercapainya lingkungan lebih baik," ungkap Jaya Wahono.
Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Edi Wibowo menyoroti ketergantungan terhadap impor yang mengakibatkan defisit neraca perdagangan dan kemungkinan krisis energi. Menurutnya, pengelolaan energi berhadapan sama trilema – tiga dilema – energi.
Pertama, ketahanan Energi. Tantangan dalam upaya penyediaan energi dengan memperhatikan rantai pasok sumber dalam dan luar negeri serta permintaan yang terus meningkat.
Kedua, ekuitas energi. Tantangan dalam penyediaan akses dan terjangkaunya energi untuk semua orang. Ketiga, keberlanjutan lingkungan.
Artinya, pembangunan infrastruktur berbasis energi terbarukan dan sumber energi rendah karbon lainnya serta peningkatan efisiensi energi, baik dari sisi penyaluran maupun permintaan.
Selain itu, peta jalan atau roadmap pengembangan kendaraan listrik di Indonesia hingga Juni 2023 mencapai 72 ribu unit. Dengan rincian, 17 ribu kendaraan roda empat dan 80 ribu kendaraan roda dua.
"Dari sini, kita bisa menghemat energi 29,79 TWh dan penurunan emisi sebesar 7,23 juta ton CO2," ujar dia. Pencapaian ini diharapkan sesuai target Roadmap EV di 2030 untuk kendaraan roda dua dan empat masing-masing 13 juta dan 2 juta unit.
Kementerian ESDM juga telah menginisiasi program konversi sepeda motor ICE menjadi sepeda motor listrik untuk mendorong pasar. Lalu, pemerintah memberikan insentif konversi sebesar Rp7-10 per unit, serta memperkuat kapasitas bengkel lokal.