Mengendalikan Kecerdasan Buatan

Ilustrasi kegiatan manusia diawasi kecerdasan buatan (AI).
Sumber :
  • IT PRO

Strassbourg – Uni Eropa berencana menggodok Undang-undang untuk meregulasi aplikasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Legislasinya dimulai sejak 14 April kemarin di Parlemen Eropa, Strassbourg, Prancis.

Gibran Rencanakan Sekolah AI Pertama di Indonesia, Perusahaan Amerika Siap Bantu

Namun, perdebatan di parlemen diiringi peringatan oleh pengelola ChatGPT, OpenAI, terhadap regulasi yang berlebihan. OpenAI berdalih, aturan yang terlalu ketat akan mendorong perusahaan AI untuk pindah dari Benua Biru.

Namun, pernyataan itu kemudian ditarik oleh CEO OpenAI, Sam Altman. Menurutnya, kecerdasan buatan memang perlu diregulasi, tapi 'membutuhkan kejelasan'.

Wakil Mendagri Sebut AI Dahsyat tapi Harus Bijaksana untuk Menggunakannya

Saat ini, Sam Altman kabarnya sedang giat melobi politik di Uni Eropa untuk mencegah disahkannya regulasi yang terlalu ketat, termasuk bertemu Kanselir Jerman, Olaf Scholz, di Berlin.

Derasnya lobi oleh OpenAI dan induk perusahaannya, Microsoft, dan ancaman untuk hengkang dari Eropa ditanggapi dingin oleh Anggota Legislatif Uni Eropa, Rene Repasi.

Sabrina: Chatbot BRI 24 Jam yang Memudahkan Layanan Perbankan Anda

Ia mengatakan, pasar Eropa terlalu menguntungkan bagi pengelola kecerdasan buatan (AI), sehingga mustahil untuk diabaikan.

"Siapa pun yang ingin menawarkan jasa AI di sini (Uni Eropa), maka harus mengelolanya sesuai standar yang kami tetapkan," kata Repasi, seperti dikutip VIVA Tekno dari Deutsche Welle, Kamis, 15 Juni 2023.

Ia bersama anggota Parlemen Uni Eropa memastikan, regulasi yang sedang digodok tidak akan menghalangi perusahaan untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan.

"Bahwa ada banyak raksasa teknologi yang berasal dari AS, lebih berkaitan dengan monopoli pasar ketimbang di mana inovasinya diciptakan," jelasnya.

Diperkirakan, regulasi yang disusun Parlemen Eropa baru akan disahkan menjadi undang-undang pada 2025. Selain parlemen, RUU juga harus disetujui oleh Dewan Uni Eropa yang beranggotakan perwakilan pemerintah ke-27 negara anggota.

Menurut Anggota Parlemen Uni Eropa, Axel Voss, tenggat tersebut berpotensi terlambat mengingat laju perkembangan teknologi AI yang pesat.

"Pengembangannya sedemikian cepat, ada banyak butir regulasi yang akan kedaluarsa ketika UU ini mulai berlaku nanti," tutur dia.

Voss adalah politisi konservatif dan ikut mengepalai tim ad-hoc yang menyusun naskah RUU. Dia termasuk yang menolak larangan bagi teknologi AI di Uni Eropa.

Sebaliknya, Rene Repasi yang berasal dari Partai Sosial demokrat, mendesak agar naskah RUU bersifat lentur agar bisa mencakup perkembangan di masa depan.

Peringatan seputar konten AI yang berisiko selayaknya tidak dicantumkan di dalam RUU, kata Repasi, melainkan dalam bentuk panduan, sehingga mudah diperbaharui di kemudian hari.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya