Implementasi KTP Digital Banyak Kurangnya, Ini Saran Pengamat
- VIVA/Agus Setiawan
VIVA Tekno – Direktorat Jenderal Kependudukan dan Percatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menargetkan 50 juta penduduk untuk migrasi ke KTP digital pada 2030.
Menurut pengamat siber Alfons Tanujaya dalan keterangan resminya, Kamis, 23 Februari 2023, ini merupakan kabar gembira.
Tapi, ada hal yang kontradiktif dalam prosesnya yang seharusnya pemerintah bisa memanfaatkan teknologi yang unggul, efisien dan memudahkan.
"Tetapi malah menggunakan cara kuno dan manual yang tidak efisien, menghabiskan waktu dan biaya masyarakat yang ingin mendapatkan IKD (Identitas Kependudukan Digital). Hal ini menimbulkan pertanyaan, seberapa besar kesiapan sistem, sumber daya manusia (SDM) dan keseriusan Dukcapil Kemendagri dalam melakukan KTP digital," imbuh dia.
Alfons membeberkan sejumlah catatan yang perlu menjadi evaluasi dalam menerapkan IKD ini. Berikut ulasannya.
1. Aplikasinya masih tidak stabil dan bermasalah
"Sebagai lembaga pemerintah yang sudah memiliki alokasi dana yang cukup dari APBN, harusnya tidak sulit untuk membuat aplikasi yang bagus, andal dan tidak bermasalah. Namun melihat review di Play Store, nilai yang diberikan 12.500 ulasan oleh pengguna aplikasi ini hanya 3.3 dari 5," ujarnya.
Mendapatkan review tinggi bukannya tidak mungkin jika pengembangan aplikasi dilakukan dengan serius dan melalui tahap yang benar, misalnya dengan terlebih dahulu meluncurkan aplikasi dalam versi beta.
Setelah stabil dan menerima banyak masukan dari pengguna dengan berbagai perangkat keras dan disempurnakan, baru diluncurkan secara resmi.
Dukcapil Kemendagri memberi kesan seakan-akan cara mengakses data hanya bisa melalui aplikasi ponsel saja. Padahal aplikasi ponsel hanya sarana tatap muka dan bukan satu-satunya cara untuk mengakses database.
Padahal database itu sendiri bisa diakses dengan berbagai macam cara, seperti langsung ke server database oleh administrator (atau peretas) yang lebih fleksibel, mudah dan murah jika menggunakan sarana peramban/web based sehingga tidak tergantung pada perangkat.
"Jadi, mau diakses dari Android, iPhone atau komputer sekalipun akan tetap bisa dilakukan. Namun, alih-alih mengutamakan akses melalui peramban yang bisa diakses dari berbagai platform, yang dilakukan malah membuat aplikasi eksklusif di Android dahulu dan pengakses layanan diluar Android seperti iPhone dan komputer justru tidak mendapatkan akses," katanya.
Akses data kependudukan berbasis web seharusnya yang menjadi tulang punggung sistem IKD karena jika terjadi kedaruratan, misalnya aplikasi IKD bermasalah, ponsel rusak, hilang atau dicuri, data kependudukan masih tetap bisa diakses menggunakan peramban dari komputer atau perangkat lainnya.
3. Scan QR Code harus mendatangi kantor kelurahan domisili KTP
Verifikasi fisik memang menjadi hal yang sangat penting karena akan menjadi dasar keabsahan data kependudukan yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk mengakses layanan penting lainnya yang membutuhkan verifikasi keabsahan penduduk.
Namun, pada zaman digital sekarang, sistem dan perangkat keras pendukung yang ada sudah sangat memungkinkan untuk melakukan verifikasi secara terdistribusi dan tidak harus terpusat atau mendatangi satu lokasi tertentu.
"Kami setuju jika Dukcapil Kemendagri bersifat prudent dalam memberikan IKD ini dan ingin melakukan verifikasi fisik seperti face recognition atau biometrik lainnya, namun tetap juga harus mempertimbangkan kenyamanan pengguna layanan kependudukan," katanya.