Ilmuwan Berpikir Lubang Hitam Bisa Jadi Penghubung ke Alien

Lubang hitam atau black hole.
Sumber :
  • Russia Today

VIVA Tekno – Jika kehidupan adalah hal yang biasa di alam semesta dan kita memiliki banyak alasan untuk mencurigainya, mengapa kita tidak bisa melihat bukti adanya alien di mana-mana? Paradoks Fermi menghadirkan sebuah pertanyaan yang mewakili para astronom dan kosmolog hampir sejak lahirnya astronomi modern.

Sejarah Radio di Indonesia Tertulis Abadi dalam Buku Radio Melintas Zaman

Itu juga alasan di balik Konjektur Hart-Tipler, salah satu dari banyak resolusi yang diusulkan, menegaskan bahwa jika kehidupan maju telah muncul di galaksi kita di masa lalu, kita akan melihat tanda-tanda aktivitas alien ke mana pun kita memandang. Indikasi tersebut termasuk pada probe yang mereplikasi diri, megastruktur, dan aktivitas mirip Tipe III lainnya.

Di sisi lain, beberapa resolusi yang diusulkan menantang anggapan bahwa kehidupan tingkat lanjut akan beroperasi dalam skala masif. Ada juga pendapat bahwa peradaban ekstraterestrial yang maju akan terlibat dalam aktivitas dan lokasi yang membuat alien kurang terlihat.

Ketua KPI Minta TV dan Radio Masifkan Siaran Lagu Indonesia Raya Tiap Pagi

Dalam studi baru-baru ini, tim peneliti Jerman-Georgia mengusulkan agar peradaban luar angkasa (ETC) tingkat lanjut dapat menggunakan lubang hitam sebagai komputer kuantum untuk memancing keluar alien.

Ini masuk akal dari sudut pandang komputasi dan menawarkan penjelasan atas kurangnya aktivitas yang kita lihat saat kita melihat kosmos, menurut situs Science Alert, Rabu, 15 Februari 2023.

Alam Semesta Tidak Terbatas, Alien Bisa Ada di Mana Saja

Alien mengintip Bumi.

Photo :
  • The Mirror

Penelitian ini dilakukan oleh Gia Dvali, seorang ahli fisika teoretis di Max Planck Institute for Physics dan ketua fisika di Ludwig-Maximilians-University di Munich dan Zaza Osmanov, seorang profesor fisika di Free University of Tbilisi dan seorang peneliti dengan Observatorium Astrofisika Nasional Kharadze Georgia dan Institut SETI.

Survei SETI pertama (Proyek Ozma) dilakukan pada 1960 dan dipimpin oleh astrofisikawan terkenal, Frank Drake (yang mengusulkan Persamaan Drake). Survei ini mengandalkan teleskop radio 26 meter (85 kaki) Observatorium Green Bank untuk mendengarkan transmisi radio dari sistem bintang terdekat Tau Ceti dan Epsilon Eridani.

Sejak itu, sebagian besar proyek SETI diarahkan untuk mencari tanda tangan teknologi radio karena kemampuan gelombang radio untuk menyebar melalui ruang antarbintang. 

"Saat ini, kami mencari pesan radio dan ada beberapa upaya untuk mempelajari langit untuk menemukan apa yang disebut kandidat bola Dyson –megastruktur yang dibangun di sekitar bintang. Di sisi lain, masalah SETI begitu rumit sehingga salah satunya harus menguji semua saluran yang memungkinkan," jelas peneliti.

Seluruh spektrum technosignatures mungkin jauh lebih luas, misalnya pancaran inframerah atau optik dari megastruktur yang dibangun di sekitar pulsar, katai putih, dan lubang hitam. Arah yang benar-benar baru harus mencari variabilitas spektral anomali tanda tangan teknologi ini, yang mungkin membedakannya dari objek astrofisika normal.

Bagi banyak peneliti, fokus yang terbatas ini adalah salah satu alasan utama SETI gagal menemukan bukti tanda tangan teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir, para astronom dan astrofisikawan telah merekomendasikan untuk memperluas pencarian dengan mencari tanda tangan teknologi dan metode lain seperti Messaging Extraterrestrial Intelligence (METI).

Ini termasuk energi terarah (laser), emisi neutrino, komunikasi kuantum dan gelombang gravitasi di mana banyak di antaranya dijabarkan dalam NASA Technosignature Report (dirilis pada 2018) dan TechnoClimes 2020.

Ilustrasi alien.

Photo :
  • U-Report

Untuk studi mereka, Dvali dan Osmanov menyarankan untuk mencari sesuatu yang sama sekali berbeda, bukti komputer kuantum skala besar. Manfaat komputer kuantum di antaranya terdokumentasi dengan baik, termasuk kemampuan untuk memproses informasi lebih cepat daripada komputasi digital dan kebal terhadap dekripsi.

Mengingat tingkat kemajuan komputer kuantum saat ini, sangat logis untuk berasumsi bahwa peradaban maju - mengacu ke alien - dapat mengadaptasi teknologi ini ke skala yang jauh lebih besar.

“Tidak peduli seberapa maju sebuah peradaban atau seberapa berbeda komposisi partikel dan kimianya dari peradaban kita, kita disatukan oleh hukum fisika kuantum dan gravitasi. Hukum ini memberi tahu kita bahwa penyimpan informasi kuantum yang paling efisien adalah lubang hitam," kata peneliti.

Kemungkinan ada perangkat yang dibuat oleh interaksi non-gravitasi yang juga memenuhi kapasitas penyimpanan informasi (saturon), seperti lubang hitam. Sejalan dengan itu, setiap ETI yang cukup maju diharapkan menggunakannya untuk penyimpanan dan pemrosesan informasi.

Ide ini didasarkan pada karya pemenang hadiah Nobel, Roger Penrose yang terkenal mengusulkan bahwa energi tak terbatas dapat diekstrak dari lubang hitam dengan memasuki ergosfer. 

Ruang ini terletak tepat di luar cakrawala peristiwa, di mana materi yang jatuh membentuk piringan yang dipercepat hingga mendekati kecepatan cahaya dan memancarkan radiasi dalam jumlah yang sangat besar.

Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa ini mungkin menjadi sumber daya utama untuk ETI tingkat lanjut, baik dengan memberi makan materi ke SMBH (memanfaatkan radiasi yang dihasilkan) atau hanya memanfaatkan energi yang telah mereka keluarkan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya