China Sudah Ada di Halaman Belakang AS
- Asia Times
VIVA Tekno – Lithium adalah mineral penting untuk sumber daya energi terbarukan. Mineral tersebut adalah bahan utama untuk memproduksi baterai lithium-ion yang menggerakkan segala hal. Mulai dari smartphone atau ponsel pintar hingga mobil listrik.
Lebih penting lagi ini dianggap sebagai "pilar ekonomi bebas bahan bakar fosil" oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dipandang sebagai cara utama untuk menyimpan energi dalam jaringan listrik bersih di masa depan.
Dengan demikian lithium telah menjadi salah satu komoditas yang paling dicari yang mana harganya melonjak lebih dari 500 persen dalam dua tahun terakhir. Arus geopolitik mendorong perebutan mineral berharga oleh kekuatan dunia.
Ada pertikaian tentang siapa yang mengendalikan rantai pasokan, dimulai oleh Amerika Serikat (AS) yang telah menolak globalisasi dan berusaha untuk menegaskan kembali pengaruhnya atas barang-barang global yang kritis dengan secara paksa menopang mereka dan melemahkan pesaing.
Dengan posisinya yang dominan atas barang dan teknologi energi terbarukan, China telah menjadi fokus upaya Pemerintahan Presiden AS Joe Biden untuk mendapatkan kembali keunggulan dalam industri tersebut.
Hal ini telah membuat kedua negara berselisih mengenai siapa yang dapat menemukan dan mengeksploitasi deposit lithium di seluruh Bumi. Siapa pun yang mengendalikan rantai pasokan akan mendominasi industri.
Rantai pasokan dimulai di mana sumber daya tersebut ditemukan. Dalam hal ini, China memiliki awal yang baik, memiliki sejumlah besar lithium dan kemampuan untuk menambangnya, menurut situs Russian Today, Rabu, 8 Februari 2023.
Strategi ini menjadi peringkat keenam di dunia untuk sumber daya lithium secara keseluruhan (5,1 juta ton) dan keempat dalam cadangan yang dapat ditambang (1,5 juta ton).
AS memiliki lebih banyak sumber daya lithium dengan total 9,1 juta ton, tetapi cadangan yang dapat ditambang saat ini hanya 750 ribu ton.
Sumber daya ini terkait dengan endapan lithium yang diketahui, sedangkan cadangan yang dapat ditambang adalah yang sudah diekstraksi dan digunakan.
Sementara Australia mempunyai 5,7 juta ton cadangan lithium, yang dapat membantu mengubah keseimbangan yang menguntungkan.
Tampaknya, AS kehilangan cengkeramannya di wilayah yang kaya akan simpanan lithium dan juga yang telah didominasi Washington DC selama beberapa dekade.
Sementara itu, China, negeri Tirai Bambu, membuat kemajuan signifikan di wilayah-wilayah utama ini. Amerika Latin memiliki 56 persen deposit lithium dunia. Hal ini terkonsentrasi di Bolivia, Argentina, Chile ('segitiga lithium'), serta Brasil.
Sebanyak 21 juta ton lithium di Bolivia belum dimanfaatkan. Sementara Argentina mengeksploitasi 2,2 juta dari 19 juta ton sumber daya keseluruhan.
Adapun Meksiko memiliki 1,7 juta ton lithium. AS dan China bersaing untuk mendapatkan akses ke pasokan yang sangat besar ini.
Secara tradisional, negeri Paman Sam telah mengklaim hegemoninya melalui kebijakan Doktrin Monroe, yang dimaksudkan untuk mencegah munculnya kekuatan lain yang bersaing di wilayahnya.
Saat persaingan geopolitik dan ekonomi antara AS dan China memanas, Beijing telah berusaha untuk berinvestasi di banyak usaha lithium di seluruh Amerika. AS telah merespons dengan memanfaatkan kekuatan politik.
Ada upaya untuk memblokir perusahaan China untuk mengeksplorasi lithium di Meksiko. Sedangkan, Kanada baru-baru ini memerintahkan tiga perusahaan China untuk melepaskan diri dari perusahaan mineralnya dengan alasan masalah keamanan nasional.
Kedua negara ini masuk dalam Perjanjian USMCA – Amerika Serikat (AS), Meksiko, dan Kanada. Dengan hilangnya China, tambang lithium mereka akan lebih terbuka untuk investasi.