Negara Besar Kuasai Bulan, Bagaimana Hukum Internasionalnya?
- BMKG
VIVA Tekno – Negara-negara di dunia saling berlomba satu sama lain dalam ‘menguasai’ bulan. Amerika Serikat dengan proyek ambisius Artemis-nya, raksasa lainnya seperti Rusia, China, Australia bahkan India juga turut bergabung dalam perlombaan.
Dilansir dari situs Space, Senin, 5 September 2022, China dan Rusia bersama-sama memiliki ambisi untuk mendaratkan manusia ke bulan pada 2026 dan membangun bangunan di Bulan pada 2035.
Di sisi lain, India juga tengah mengerjakan program pendaratan robotik dan penerbangan menuju ke bulan. Bahkan, Uni Emirates Arab juga berambisi untuk meluncurkan “Lunar Lander" ke bulan pada November 2022.
Jika dikompilasikan, maka dari sekian proyek tersebut memiliki satu tujuan yang sama, yakni mendaratkan astronot ke bulan dengan tujuan jangka panjangnya mendapatkan sumber daya di bulan.
Kendati demikian, hukum internasional tidak memungkinkan satu pun negara di dunia yang dapat mengklaim kepemilikan atas bulan.
Hal ini diatur dalam Traktat Luar Angkasa tahun 1967 pasal 2 yang didalamnya menyebutkan.
“Luar angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya, tidak tunduk pada perampasan nasional dengan klaim kedaulatan, dengan tujuan untuk penggunaan atau pendudukan,” Tulis Traktat tersebut.
Lebih dalam, traktat tersebut pada pasal 1 juga menerangkan, bahwa eksplorasi luar angkasa harus membawa keuntungan dan mewakili kepentingan dari seluruh negara di dunia.
Traktat lainnya yang berkenaan dengan ini adalah Moon Agreement 1979 yang ditanda tangani oleh 18 negara di dunia.
Senada dengan Traktat 1967, kesepahaman ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun negara di dunia yang dapat memonopoli bulan dan mewajibkan untuk menetapkan rezim peraturan untuk penambangan bulan.
Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mendirikan kelompok kerja yang menyasar pembangunan konsensus multilateral terhadap aspek hukum dari aktivitas sumber daya luar angkasa.
Tetapi, pada 2020 lalu, AS memutuskan untuk keluar dari kelompok kerja tersebut dan menggagas “Artemis Accord” yang menyatakan bahwa ekstraksi sumber daya akan terjadi dan halal.
Meskipun begitu, pasal 2 Artemis Accord mengklaim bahwa kendati memperbolehkan ekstraksi sumber daya ruang angkasa, tetapi hal ini tidak secara inheren merupakan perampasan nasional berdasarkan Pasal II Traktat Luar Angkasa 1967.
Lebih dalam, kesepahaman dan instrumen hukum lainnya yang berkaitan dengan sumber daya ruang angkasa juga harus konsisten dengan traktat tersebut.
Dua puluh satu negara yang tergabung didalamnya termasuk Australia, Prancis, Singapura, Brazil, dan lain-lain turut meneken perjanjian tersebut.