Dampak Badai Matahari di Indonesia Tergolong Ringan
- Daily Mail
VIVA Tekno – Badai Matahari yang dikatakan telah mencapai medan magnet Bumi telah menyebabkan kekhawatiran. Pasalnya itu disebut dapat mengganggu kerja satelit atau bahkan yang lebih parah mengganggu sistem listrik.
Tapi kabar baiknya dampak dari badai Matahari ini tidak sebesar daerah yang berada di lintang tinggi seperti di sekitar kutub Bumi. Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang berada di khatulistiwa.
Dijelaskan oleh Peneliti Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Johan Muhammad, Matahari secara rutin melepaskan energi dalam bentuk radiasi.
Beberapa aktivitas Matahari yang berpengaruh besar terhadap kondisi cuaca antariksa diantaranya adalah flare, lontaran massa korona, dan angin surya.
Aktivitas Matahari secara langsung mengubah kerapatan dan tekanan plasma di medium antarplanet dan ionosfer, serta meningkatkan tekanan magnetik pada magnetosfer Bumi.
"Akibatnya, berbagai sinyal gelombang elektromagnetik yang biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk keperluan komunikasi dan navigasi dapat terganggu saat terjadi aktivitas Matahari yang ekstrem," jelasnya, dikutip dari situs BRIN, Jumat, 12 Agustus 2022.
Meski negara kita tidak memiliki dampak yang besar, bukan berarti Indonesia bebas dari dampak badai Matahari. Cuaca antariksa akan banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.
"Di Indonesia, cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari dapat mengganggu komunikasi antarpengguna radio HF dan mengurangi akurasi penentuan posisi navigasi berbasis satelit, seperti GPS," ujarnya.
Lebih lanjut Johan mengatakan, semakin tingginya ketergantungan masyarakat terhadap teknologi satelit dan jaringan ekonomi global, gangguan pada satelit dan jaringan kelistrikan di wilayah lintang tinggi seperti kutub akibat cuaca antariksa juga dapat berpengaruh terhadap kehidupan di Indonesia secara tidak langsung.
Dia juga menganggap istilah kiamat badai Matahari sebagai istilah yang keliru dan perlu diluruskan. Hal itu karena kita telah hidup lama berdampingan dengan cuaca antariksa di mana ativitas Matahari rutin terjadi.
"Yang perlu kita pahami adalah bagaimana prosesnya dan memitigasi dampak negatifnya semampu kita," ujarnya.
Johan meminta masyarakat agar tidak panik dan tidak mudah termakan hoax yang beredar berkaitan dengan badai Matahari, karena menurutnya, bintang dari Bumi itu memiliki siklus sekitar 11 tahun sekali.
Siklus ini sifatnya tidak selalu sama di setiap saat. Terkadang, Matahari sangat aktif melepaskan energi eksplosif, sementara di periode lainnya Matahari bersikap sangat tenang.
Masyarakat yang tertarik untuk mengetahui kondisi terkini cuaca antariksa, dapat melakukan pemantauan melalui situs Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) di laman http://swifts.brin.go.id/.
"Masyarakat dapat menemukan informasi mengenai aktivitas Matahari yang terjadi dalam 24 jam terakhir, serta kondisi geomagnet dan ionosfer global serta regional wilayah Indonesia," kata Johan.