3 Bentuk Cyberbullying di Media Sosial
- radicalparenting.com
VIVA Tekno – Peta Jalan atau Roadmap Literasi Digital 2021-2024 yang disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Siberkreasi, dan Deloitte pada 2020 memberikan panduan untuk mengatasi persoalan perundungan digital atau cyberbullying melalui kurikulum literasi digital yang terbagi atas empat area kompetensi.
Keempat area tersebut adalah kecakapan digital, budaya digital, etika digital, dan keamanan digital. Keempatnya ini menawarkan beragam indikator dan subindikator yang bisa digunakan untuk meningkatkan kompetensi literasi digital masyarakat Indonesia melalui berbagai macam program yang ditujukan pada berbagai kelompok target sasaran.
Tantangan utama pesatnya perkembangan teknologi adalah penggunaan internet dan media digital yang tak hanya memberikan manfaat bagi penggunanya, namun juga membuka peluang terhadap beragam persoalan.
Kurangnya kecakapan digital dalam menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak menimbulkan penggunaan media digital yang tidak optimal. Lemahnya budaya digital bisa memunculkan pelanggaran terhadap hak digital warga.
Terjadinya berbagai kejahatan digital dan juga cyberbullying, terutama di kalangan remaja. Rendahnya etika digital berpeluang menciptakan ruang bagi pelaku perundungan atau bullying di media sosial, platform chatting dan game.
Muhammad Mikail Karimov, Head of Operations Meraki Kreasi Bangsa, mengatakan bullying saat ini tidak hanya berbentuk langsung, namun juga lewat dunia maya atau yang disebut cyberbullying.
"Bullying di media sosial ini ada tiga bentuk. Pertama flaming, yaitu perilaku mengirim pesan teks dengan kata kasar dan frontal. Kedua denigration, yaitu bullying yang dilakukan dengan mengumbar keburukan atau aib seseorang tujuannya untuk merusak reputasi dan nama baik orang tersebut," ungkapnya di Jakarta, Senin, 25 Juli 2022.
Selanjutnya outing and trickery, yaitu bullying dengan cara menyebarkan data pribadi seperti foto dan video serta rahasia seseorang. Mikail juga menjelaskan ada beberapa alasan seseorang melakukan bullying di media sosial.
"Cyberbullying terjadi karena hilangnya rasa empati antar sesama. Kemudian, pelaku merasa bebas melakukan aksinya tanpa takut tertangkap karena reaksi korban yang tidak melawan dan tidak berani melaporkan. Terakhir, pelaku ingin mendapatkan perhatian dari orang yang menjadi korbannya dan orang yang ada di lingkungan sekitar," papar dia.
Pada kesempatan yang sama, Dirgantara Wicaksono selaku CEO Guru YouTuber mengimbau remaja untuk membuat konten anti-cyberbullying. Ia mendorong generasi muda untuk memanfaatkan platform media digital untuk membuat konten positif dan bermanfaat yang memuat informasi tentang cyberbullying.
"Kita sebagai remaja yang cakap digital harus meningkatkan kreativitas untuk menjadikan media digital yang aman, nyaman, dan mendidik. Ada berbagai konten yang bisa dibuat untuk kampanye anti-cyberbullying, seperti podcast dan live streaming dengan memanfaatkan YouTube dan Instagram maupun Facebook," tuturnya.
Andi Muslim, Ketua SubKomisi Media Baru Lembaga Sensor Film, menambahkan jika para generasi muda untuk menggunakan media sosial dengan mengedepankan budaya bangsa, serta tidak melakukan aksi cyberbullying karena akan meninggalkan jejak digital.
"Semua yang kita tulis dan posting di media digital akan terekam dan tidak akan hilang, orang akan mengenal kita dari apa yang kita lakukan di media sosial. Jangan sampai akibat perilaku kita yang negatif menjadi pandangan buruk orang lain kepada kita," kata dia, mengingatkan.