Perusahaan Teknologi Dunia Hujan Cuan

Google, Facebook dan Twitter.
Sumber :
  • News18

VIVA – Semenjak pandemi COVID-19 melanda, layanan panggilan video maupun sertifikat digital vaksin dinilai menjadi hal yang penting di sepanjang 2021.

"Banyak dari teknologi ini awalnya diadopsi pada saat kita pikir ini adalah keadaan darurat yang singkat. Dan saya pikir 2022 adalah tahun di mana kita akan menyadari bahwa ini tidak akan benar-benar hilang," kata Analis Kebijakan Teknologi dan Direktur Dana AI Eropa, Frederike Kaltheuner, dikutip dari DW, Senin, 3 Januari 2022.

Ini artinya bahwa ketika kebijakan lockdown dan mandeknya rantai pasokan membebani sektor ritel, layanan, dan industri, para perusahaan teknologi dunia melaporkan rekor keuntungan dan nilainya terus tumbuh.

Dari teknologi perangkat keras, iklan digital, hingga mobil tanpa pengemudi, selama pandemi COVID-19 para raksasa Lembah Silikon seperti Alphabet (Google), Apple, Amazon, Meta (Facebook), dan Microsoft telah bergerak lebih jauh ke target pasar masing-masing.

"Kekuatan perusahaan-perusahaan (teknologi dunia) ini adalah bahwa mereka sangat multidimensi. Mereka menyudutkan pasar yang berbeda dan kemudian memanfaatkan kekuatan yang diperoleh dari satu pasar untuk mendominasi pasar lainnya," ungkap Jurnalis Kebijakan Teknologi Uni Eropa untuk Netzpolitik, Alexander Fanta.

Pertumbuhan vertikal dan lateral telah membuat perusahaan-perusahaan ini menjadi masalah yang lebih besar bagi regulator pasar.

Saat ini bahkan lebih sulit untuk memiliki gambaran umum tentang semua yang dilakukan oleh satu perusahaan.

Nilai kekayaan yang terus bertambah dan pengaruh dari sejumlah pemain yang terbatas menimbulkan banyak masalah bagi orang-orang dan bisnis online.

Pertumbuhan ini juga menempatkan perusahaan-perusahaan ini lebih bersaing secara langsung satu sama lain.

Seperti pada April 2021 misalnya, ketika Facebook mengecam pembaruan perangkat lunak Apple yang mengharuskan pengguna iPhone untuk ikut serta dalam pelacakan iklan, pilar model bisnis Facebook.

Ketika Facebook, yang kini berganti nama menjadi Meta, gagal melampaui target pendapatan kuartal ketiga tahun lalu, Kepala Eksekutif Mark Zuckerberg meradang menyalahkan Apple. Meta, pada kenyataannya, menghabiskan sebagian besar tahun ini sebagai sorotan global.

Frustrasi publik yang memuncak dengan praktik bisnis perusahaan ini memberi jalan kepada senjata pamungkas ketika seorang pelapor mengungkap serangkaian praktik bisnis yang kontroversial.

Namun, perubahan citra besar-besaran lumayan berhasil mengalihkan perhatian publik pada waktunya untuk menutup 2021.

Pada November kemarin, Zuckerberg mempresentasikan visinya sendiri untuk metaverse, sebuah pengalaman online yang imersif yang didorong oleh perusahaan sebagai evolusi internet berikutnya.

Tidak semua orang terkesan atas visi Mark Zuckerberg tersebut.

"Tidak ada metaverse. Ini adalah cara yang sangat bagus untuk membicarakan masalah saat ini yang sudah kita miliki. Kita sudah melihat ini di berbagai kesempatan, orang menggunakan istilah itu meskipun tidak ada yang tahu apa artinya. Jika saya adalah Facebook, saya juga akan mengganti namanya. Mereknya benar-benar tidak bagus," papar Kaltheuner.

Namun, langkah tersebut menimbulkan pertanyaan apakah regulator mempunyai kemampuan untuk mencocokkan jenis pemikiran visioner jangka panjang yang dibangun ke dalam DNA perusahaan teknologi dunia.

Pengawas Antimonopoli Uni Eropa Margrethe Vestager secara signifikan mempercepat pengibaran bendera perangnya lewat Undang-Undang Pasar Digital (DMA) dan Undang-Undang Layanan Digital (DSA) yang diperkenalkan pada akhir 2020 untuk mengendalikan para pemain teknologi dunia.

DMA dimaksudkan untuk memaksa apa yang disebut sebagai perusahaan 'penjaga gerbang' seperti Google untuk menawarkan pijakan yang lebih setara kepada pesaing yang mengandalkan platform online-nya.

Sementara DSA akan memberikan peraturan yang lebih besar atas konten ilegal yang ditemukan di platform online.

Negosiasi resmi akan dimulai pada Januari 2022. Vestager telah menyatakan harapan bahwa rancangan tersebut dapat menjadi undang-undang sebelum berakhirnya mandat Parlemen Eropa pada 2024.

"Penting bagi semua orang untuk menyadari bahwa yang terbaik adalah mendapatkan 80 persen sekarang daripada 100 persen tidak sama sekali," kata Vestager, menegaskan.

Ceker Ayam Bisa Jadi Ladang Cuan? 7 Ide Jualan Ini Dijamin Bikin Laris!

Meski pembahasan UU tersebut mampu dilakukan dalam waktu yang singkat, beberapa orang mengatakan batas waktu yang cepat mungkin telah mengorbankan konsensus nyata, yang dapat diterjemahkan ke dalam negosiasi yang lebih berlarut-larut.

Pada kesempatan terpisah, Kepala Komisi Perdagangan Federal AS (FTC), Lina Khan, menegaskan bahwa undang-undang antimonopoli perlu melangkah lebih jauh untuk menangani pemain perusahaan teknologi dunia.

Game T-Rex Mustahil untuk Ditamatkan

Kurang dari satu bulan setelah Khan dilantik di FTC, Jeff Bezos pensiun sebagai CEO Amazon. Pendiri Twitter Jack Dorsey juga mengundurkan diri dari peran kepemimpinannya di perusahaan itu.

Dari perusahaan teknologi besar AS, Mark Zuckerberg adalah satu-satunya pendiri yang masih memegang peran manajemen aktif.

Rahasia Sukses Najla Bisyir, dari Dapur Rumah Sederhana Kini Punya 800 Karyawan

"Kepergian mereka dari garis depan sudah merupakan salah satu tanda kegelisahan. Meski begitu, suara-suara para perusahaan teknologi dunia semakin keras untuk berjuang atas nama kepentingan publik. Jadi, lobi-lobi masih tampak kuat," jelas Fanta.

Penandatanganan Kerja Sama bank bjb dengan PT Kliring Berjangka Indonesia

bank bjb Terus Perkuat Bisnis, Kini Jadi BPD Pertama Penyimpan Dana Margin di Indonesia

Kerja sama ini menjadi langkah strategis memperluas ekosistem bisnis kedua belah pihak, khususnya pemanfaatan produk, jasa dan layanan perbankan yang saling menguntungkan

img_title
VIVA.co.id
23 November 2024