Orang Indonesia Disebut Tak Peduli Perlindungan Siber

Hacker / serangan siber.
Sumber :
  • Homeland Security Today

VIVA – Perusahaan yang bergerak di bidang keamanan data global asal Singapura, Acronis, merilis prediksi tren masalah dan solusi keamanan siber sepanjang 2022. Laporan itu terangkum dalam “Acronis Cyberthreats Reports 2022”, mulai dari phising serta ransomware masih menjadi serangan siber yang utama.

Menko Polkam Sebut 8,8 Juta Masyarakat Indonesia Main Judi Online

Hingga serangan pada aset digital seperti mata uang kripto turut menjadi masalah yang diprediksi di tahun depan. Mengutip laporan Acronis, Selasa, 28 Desember 2021, masalah keamanan siber pertama yang masih akan menjadi tren di 2022 adalah phising.

Diperkirakan 94 persen malware-nya dikirim melalui email dan tetap menggunakan tekniks rekayasa sosial sehingga pengguna email dapat dikelabui dan membuka lampiran ataupun tautan berbahaya.

Tindaklanjuti Aduan via "Lapor Mas Wapres", Gibran Kasih Bantuan ke Warga

Phising bukanlah ancaman keamanan siber yang baru dan bahkan telah menduduki posisi pertama untuk masalah keamanan siber bahkan sebelum pandemi COVID-19. Di 2021 saja, Acronis mencatat ada 23 persen lebih pemblokiran email yang mengirimi phising.

Sementara 40 persen lebih banyak malware di kuartal ketiga 2021 dibandingkan dengan kuartal kedua. Peningkatan yang sangat signifikan itu menunjukan masih banyak orang yang percaya pada pesan mencurigakan yang bahkan tak memiliki terkoneksi dengan pengguna surat elektronik.

Ekosistemnya Diminta Diperkuat, Karena Transaksi Dengan Ini Lebih Aman

Masalah kedua yang berkembang dari phising adalah para pelaku phising mulai beralih ke aplikasi pesan singkat atau messenger.

Penargetan untuk mengambil alih akun menjadi cara utama yang dilakukan oleh pelaku penipuan online itu, sehingga akhirnya selain bisa mendapatkan identitas asli pemilik akun juga menyeret kontak- kontak lainnya di akun yang asli.

Masalah utama lainnya dalam keamanan siber di 2022 adalah ransomware yang menyasar para pelaku bisnis besar dan UMKM. Sektor publik, perawatan kesehatan, manufaktur, dan organisasi penting lainnya termasuk dalam target bernilai tinggi.

Namun, terlepas dari beberapa penangkapan baru-baru ini, ransomware terus menjadi salah satu serangan siber yang paling gencar terjadi saat ini. Acronis memperkirakan kerugian global akibat ransomware akan melebihi US$20 miliar atau Rp284 triliun sebelum akhir 2021.

Masalah keamanan siber selanjutnya adalah mata uang kripto kini menjadi sasaran favorit para pelaku kejahatan siber. Malware dan infostealer dengan gencar menyerang para pemilik mata uang kripto untuk menukar alamat dompet digital mereka dan mendapatkan keuntungan dari hal itu.

Serangan sejenis diprediksi akan terus berlanjut di 2022 terutama semakin banyak orang yang beralih melakukan investasi berisiko tinggi itu.

“Serangan terhadap aplikasi Web 3.0 juga akan lebih sering terjadi dan serangan baru yang semakin canggih seperti serangan pinjaman kilat akan memungkinkan penyerang menguras jutaan dolar AS dari kumpulan mata uang kripto,” kata laporan dalam Acronis.

Dengan masalah-masalah keamanan siber ini, tentunya kebutuhan terhadap perlindungan privasi dan keamanan data siber juga ikut meningkat. Tahun ini bisa dikatakan sebagai rekor terburuk dalam sejarah keamanan siber.

Kehadiran pandemi COVID-19 nampaknya turut memicu pandemi siber dengan banyaknya kebocoran data, pencurian identitas, hingga serangan-serangan malware. Indonesia tak terkecuali namun juga tak sendiri karena masalah ini dialami secara global.

Dengan rencana Indonesia membuka Pusat Data Nasional tentunya kesadaran perlindungan data siber juga harus dimiliki oleh masyarakatnya.

Secara khusus Acronis menyarankan agar orang Indonesia bisa lebih peka dan mulai memberi perlindungan siber para perangkat elektroniknya agar bisa memberi perlindungan para data-data miliknya. Masyarakat Indonesia terbilang tidak peduli pada perlindungan siber untuk saat ini. Untuk itu diperlukan kesadaran agar hal serupa tidak terjadi.

Secara global, Singapura, China, dan Brasil menjadi negara yang paling tinggi memiliki tingkat deteksi terhadap serangan siber sebesar 50 persen lebih. Sementara dari segi ransomware, Uni Emirat Arab (UEA) menjadi kawasan yang paling baik mendeteksi ransomware.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya