Inovasi Teknologi Digital Terbukti Bantu Menekan Penebangan Liar

Ilustrasi/Penebangan pohon liar
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Mulai 1 Desember 2021, Indonesia menduduki Presidensi G20, sebuah forum global beranggotakan negara-negara penyumbang 80 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Selama masa presidensinya, Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk memimpin kerja sama dalam mengatasi perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan dengan tindakan nyata. 

Garap Lahan Pertanian 20 Ha Pakai Padi Biosalin, PGN Gandeng BRIN hingga Pemkot Semarang

Indonesia telah berhasil menekan deforestasi ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir, sekaligus mendorong rehabilitasi 3 juta hektare critical land antara tahun 2010 hingga 2019. Kebakaran hutan juga telah berhasil diturunkan sebesar 81 persen dari luasan 1,6 juta hektare pada tahun 2019 menjadi 300 ribu hektare sepanjang tahun 2020.
.
Tentunya ini tidak lepas dari peran serta masyarakat, khususnya dalam mendeteksi dini kegiatan yang bisa menyebabkan deforestasi, seperti pembukaan lahan melalui illegal logging. Peran masyarakat yang dimaksud meliputi kegiatan patroli terpadu dan mandiri di hutan adat, hutan nagari dan hutan kemasyarakatan. Di wilayah ini masyarakat memiliki kekuasaan hukum untuk
mengelola lahannya.

Namun, tidak banyak yang tahu bahwa selama kegiatan patrol terpadu tersebut sudah didukung oleh sejumlah teknologi modern agar pengawasan bisa dilakukan lebih efektif. Berikut adalah sejumlah teknologi yang telah digunakan untuk pelestarian lingkungan.

Denny JA Rumuskan 6 Prinsip Emas Spiritualitas di Era AI

1. Teknologi AI untuk deteksi dini penebangan liar

Salah satu teknologi yang digunakan untuk membantu upaya pencegahan kerusakan hutan adalah teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Teknologi ini digunakan untuk menangkap suara-suara terkait kegiatan pengrusakan hutan, misalnya penebangan pohon secara liar (illegal logging) dan perburuan ilegal. 

Implikasi Ketergantungan pada Kecerdasan Buatan terhadap Proses Pembelajaran

Teknologi ini akan memilah jenis suara, di antaranya suara kendaraan, suara penebangan, suara tembakan; kemudian dikirimkan dalam bentuk notifikasi. Dengan kecerdasan penangkapan suara ini, maka aparat keamanan bisa mendeteksi lebih tepat kegiatan para penebang liar.

Teknologi ini dinamakan ‘Guardian’, sebuah aplikasi teknologi digital yang diinisiasi oleh lembaga non-profit Komunitas Konservasi Indonesia Warung Informasi Konservasi (KKI Warsi) bekerjasama dengan National Committee of the Netherlands (IUCN), sebuah lembaga perserikatan dari Belanda yang bergerak di bidang konservasi dan pengelolaan sumber daya alam
berkelanjutan. 

Melalui bantuan IUCN, KKI Warsi berhasil dipertemukan dengan lembaga nonprofit asal Amerika Serikat, RFCX Rainforest Connection, yang kemudian mengembangkan alat analisa bioakustik tersebut.

“KKI Warsi mulai menggunakan Guardian sejak tahun 2018. Alat ini membantu masyarakat di sekitar hutan nagari yang sudah melakukan praktik pengamanan dan perlindungan hutan sejak dahulu. Sejauh ini, terdapat 26 titik instalasi Guardian di area resmi pengawasan masyarakat seperti area hutan nagari Sumpur Kudus Sijunjung, Sumatera Barat,” kata Riche Rahma Dewita,
Koordinator Program KKI-Warsi.

Aplikasi Guardian bisa diunduh di smartphone untuk kemudian menangkap dan mentransmisikan suara yang muncul di hutan. Smartphone ini lalu dikombinasikan dengan papan sirkuit cetak atau logic board, kotak tahan cuaca, solar panel sebagai daya listrik, dan antena direksional. Mikrofon juga disertakan agar bisa menangkap suara sampai sejauh 1,5 km. Alat ini dipasang di puncak kanopi hutan atau dedaunan pohon-pohon tropis dengan ketinggian yang seringkali bisa mencapai 30 meter. Data suara yang tertangkap ini lalu dikirimkan melalui streaming ke server cloud untuk dianalisa menggunakan model AI pendeteksi suara, khususnya suara alat tebang pohon, kendaraan, suara manusia, dan bahkan tembakan.

Secara teknis, alat ini masih bergantung kepada jaringan seluler internet. Dengan demikian, alat ini hanya bisa dipasang di wilayah yang berada di ketinggian yang cukup untuk menangkap jaringan seluler internet. Suara yang ditangkap akan dihimpun dan bisa diakses menggunakan aplikasi RFCX Ranger yang bisa diunggah di Google Play Store.

Ketika AI pendeteksi suara mengidentifikasi sebuah suara tertentu, maka tim KKI Warsi akan mengecek dan melakukan verifikasi suara. Jika terverifikasi sebagai kegiatan perusakan hutan, maka tim akan menghubungi Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) untuk melakukan patrol di tempat kejadian.

“Sebelum ada Guardian, kami memerlukan waktu setengah hari, sejak suara terdeteksi hingga verifikasi dan patroli. Sekarang, waktu yang dibutuhkan jauh lebih pendek, sehingga lebih efektif, sekaligus membuat jera para pelaku illegal logging,” ujar Yudi Fernandes, Koordinator Unit KKIWarsi.

Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari Sumpur Kudus, Syarifuddin mengatakan, “Sejak alat ini dipakai di tahun 2018, maka sudah tidak ada lagi penebangan dalam skala besar yang kami temukan. Meskipun masih ada kasus penebangan kayu kecil (dua sampai tiga batang pohon), tapi kasusnya bisa diselesaikan secara adat. Alat Guardian ini sangat membantu petugas parimbo
yang bertugas mengawasi sekitar 3.828 hektar hutan nagari Sumpur Kudus,” jelasnya.

2. Analisis citra satelit dan drone untuk pemantauan tutupan lahan

Teknologi lain yang dapat digunakan untuk mengawasi hutan adalah teknologi pencitraan satelit yang dikembangkan berbagai lembaga antariksa. Citra satelit ini banyak yang dibuka aksesnya ke publik sehingga dapat dianalisa lebih jauh sesuai dengan kebutuhan pengguna. 

Analisis inilah yang dilakukan oleh Yayasan Auriga Nusantara, sebuah NGO yang bergerak di bidang konservasi sumber daya alam Indonesia. Dengan menganalisis beberapa jenis citra satelit sekaligus, seperti Landsat, Sentinel, SPOT, Yayasan Auriga Nusantara mendeteksi tutupan sawit nasional. 

Analisis yang dilakukan sejak 2019 ini menunjukkan bahwa tutupan sawit Indonesia berada di 247 kabupaten di 25 provinsi
di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Tanah Papua. Dalam pendeteksian tutupan sawit tersebut Yayasan Auriga Nusantara bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk lembaga negara. Kerja sama ini mewujudkan peta tutupan sawit
tahun 2014 – 2016 seluas 16,8 juta hektare yang dirilis bersama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Pertanian, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2019.

“Yayasan Auriga Nusantara merupakan mitra kami sejak lama terkait penyediaan data pemetaan tutupan lahan sawit. Dengan data dari mereka, kami bisa membandingkan luas pemetaan sawit dengan izinnya. Selisih dari perhitungan ini bisa dikalkulasikan menjadi potensi pajak yang belum dibayar. Selain itu, kami menggunakan pemetaan ini untuk memastikan
bahwa program replanting kelapa sawit akan tepat sasaran,” tutur Sulistyanto, kepala satuan tugas (kasatgas) pada Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi.

Temuan tersebut berbeda dengan data estimasi tutupan lahan sawit yang setahun sebelumnya dirilis oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, yakni 14,32 juta hektare. Adanya perbedaan ini menjadi pembuka dialog data tutupan sawit, sehingga diperlukan konsolidasinya. 

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dalam kerangka pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit, pun mengkoordinasi berbagai kementerian atau lembaga negara terkait. Tim Yayasan Auriga Nusantara sebagai bagian dari Tim KEHATI, turut serta dalam konsolidasi data ini. Hasil konsolidasi data ini adalah diterbitkannya Keputusan Menteri Pertanian No.833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin yang menyebutkan bahwa tutupan sawit nasional seluas 16,38 juta hektare.

“Keseluruhan proses yang dipicu oleh dialog data tersebut menjadi bukti empirik bahwa perbedaan bisa mengarahkan kita melangkah maju ke depan. Perlu dipahami bahwa sebuah data hadir dengan latar belakang dan metodologi tertentu, sehingga perbedaan metodologi sangat mungkin menghadirkan angka yang berbeda. Maka, dialog data kita perlukan agar pijakan sebuah keputusan atau kebijakan menjadi lebih solid,” kata Timer Manurung, Ketua  Yayasan Auriga Nusantara, mengenai adanya perbedaan data mengenai tutupan lahan di Indonesia.

Yayasan Auriga Nusantara tidak berhenti pada analisis citra satelit tersebut, tapi mengembangkan lebih jauh. Salah satunya adalah penggunaan drone untuk pendataan sawit rakyat. Resolusi gambar drone jauh lebih tinggi, sehingga membantu mempercepat proses pemetaan di lapangan.

“Ini semua merupakan rangkaian inovasi yang kami harapkan turut mendorong pelestarian sumber daya alam Indonesia. Saat ini tim kami telah selesai memetakan tutupan sawit 2020, dan kami berencana merilisnya dalam waktu dekat. Pemetaan berbasis gambar drone juga kami harapkan memicu percepatan pemetaan sawit rakyat, sehingga kebijakan persawitan ke depan akan lebih tepat sasaran, atau demi sebesar-besar kemakmuran pekebunan sawit dan untuk tata kelola lahan sawit berkelanjutan,” kata Deddy Sukmara, Direktur Informasi dan Data Yayasan Auriga. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya