Jangan Mengada-ada Ngasih Label 'Bebas BPA'

botol plastik.
Sumber :
  • Unsplash

VIVA – Rancangan Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan jangan sampai bersifat diskriminatif.

Pentingnya Akses Informasi tentang Inovasi Produk Bebas Asap bagi Perokok Dewasa

Lalu, sebelum aturan dikeluarkan harus dilakukan kajian Regulatory Impact Assessment (RIA) yang mengakomodasi semua stakeholder, termasuk di dalamnya analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial yang disebabkan.

"Sebenarnya, migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Di sana semua jelas sekali dipaparkan,” kata Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor Dedi Fardiaz, Jumat, 3 Desember 2021.

Dukung Percepatan Swasembada Pangan, Petrokimia Gresik Sebar 54 Taruna Makmur ke Berbagai Daerah

Peraturan ini, lanjut dia, menyebutkan label bebas dari zat kontak pangan itu tidak hanya berlaku untuk kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja, tapi juga produk lainnya, seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirene (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), dan Kromium VI (Cr VI).

Selain itu juga merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), serta kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.

Putri Zulhas Minta Kader PAN Solid Dukung Pemerintah Wujudkan Swasembada Pangan

Khusus yang terkait BPA, ahli teknologi pangan tersebut mengungkapkan jika BPOM telah menetapkan satuan untuk keamanan pangannya sama dengan yang lain yang disebut TDI (tolerable daily intake).

"Artinya, sesuai ketentuan dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg)," paparnya.

Pada pertengahan tahun ini, BPOM juga telah melakukan pengujian terhadap migrasi BPA terhadap air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan PC dan menemukan bahwa hasilnya rendah sekali dibandingkan dengan persyaratan kandungan dalam air.

“Setelah dihitung ternyata paparannya jauh sekali di bawah itu. Artinya relatif aman,” ujar Dedi.

Terkait adanya rencana BPOM untuk meminta kemasan polikarbonat air minum dalam kemasan untuk mencantumkan label ‘berpotensi mengandung BPA', ia mengusulkan agar dibuat pengecualian. Di mana, kemasan yang sudah memenuhi batas migrasi aman, yaitu 0,6 bpj, tidak perlu melabeli kemasannya dengan label bebas BPA.

Sedangkan untuk kemasan plastik lainnya yang memang dalam proses pembuatannya tidak menggunakan BPA sebagai zat aditif, menurut Dedi, juga tidak perlu dibuat mengada-ada dengan melabeli ‘bebas BPA’.

“Karena, kemasan lainnya kan tidak mengandung BPA. Yang Policarbonat (PC) itu yang pasti menggunakan BPA dalam proses pembuatannya. Yang bukan PC seperti PET, PVC atau bahkan kaca kan memang tidak mengandung BPA. Jadi, kalau diklaim mengandung bebas BPA itu mengada-ada namanya. Mengklaim sesuatu yang tidak ada," tutur dia.

Selain itu, Dedi juga menyarankan supaya yang dilakukan uji laboratorium bukan hanya kemasan pangan berbahan PC saja, tapi semua jenis kemasan pangan yang mengandung unsur zat kontak pangan seperti yang diatur dalam Peraturan BPOM No 20 Tahun 2019.

Kemudian, laboratorium yang mengujinya juga harus yang terakreditasi bukan milik pemerintah saja. “Tujuan label adalah menginformasikan dari produsen kepada konsumen apa yang terdapat di dalam, bukan apa yang tidak ada,” tegas Dedi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya