Pemerintah Tak Bisa Halang-halangi Merger XL Axiata dan Smartfren
- Dokumen XL Axiata
VIVA – Axiata Group asal Malaysia dan Sinar Mas Group kabarnya sedang menjajaki opsi merger XL Axiata dan Smartfren yang juga mencakup kesepakatan seputar berbagi jaringan.
Jika aksi korporasi itu benar demikian, maka akan menjadi yang kedua di Indonesia setelah Indosat Ooredoo dengan Tri Indonesia.
Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menuturkan merger antara Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia merupakan game changer dan referensi bagi operator telekomunikasi lain untuk melakukan hal serupa.
"Tidak ada alasan dari pemerintah untuk tidak merestui (merger). Kalau soal frekuensi, kan, sudah diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja meski ada wewenang Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) yang memutuskan," kata dia kepada VIVA Tekno, Kamis malam, 14 Oktober 2021.
Maksud dari pernyataan Heru soal frekuensi adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo diminta untuk tidak menguranginya karena merger menjadi tidak lagi menarik.
Menurutnya, cara pandang frekuensi harusnya bukan sebagai alat produksi, tapi jalur jalan agar kecepatan internet konsumen menjadi lebih lancar dan cepat.
"Enggak perlu diambil selama operator bersedia bayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi Radio," kata Heru.
Merger juga akan membuat layanan ke masyarakat jadi lebih baik. Implementasi 5G pun bisa lebih cepat terealisasi karena teknologi generasi kelima ini butuh frekuensi 100MHz.
"Kalau sekarang masih 5G, 5G-an. 5G rasa 4G. Kalau belum 100MHz 5G-nya belum maksimal. Tugas pemerintah gimana supaya operator bisa mencapai 100MHz," tutur dia.
Sebagai informasi, XL Axiata memiliki 56,8 juta pelanggan per 30 Juni 2021, menurut laporan keuangan terbarunya. Mereka melaporkan laba bersih senilai Rp716 miliar dengan pendapatan hampir Rp13 triliun selama enam bulan pertama tahun ini. Axiata Group memiliki 66 persen saham XL.
Sementara Smartfren, unit bisnis Sinar Mas Group, memiliki 27,9 juta pengguna pada akhir 2020, menurut laporan keuangan tahunan terbarunya. Mereka melaporkan mengalami rugi bersih Rp452 miliar dengan pendapatan Rp4,95 triliun pada semester pertama tahun ini.