Kriptografi Dipakai untuk Belajar Online, Hasilnya Mengejutkan
- AJC.com
VIVA – Pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung sekitar 1,5 tahun telah mengubah perilaku kehidupan semua orang. Mulai dari kegiatan perkantoran, proses produksi di sejumlah pabrik, perilaku karyawan saat bekerja hingga proses belajar-mengajar, baik tingkat sekolah dasar sampai menengah atas serta perguruan tinggi.
Pemanfaatan teknologi yang masif tentu harus dibarengi dengan keamanan siber (cybersecurity) yang mumpuni sekaligus menjadi kunci fundamental agar bisnis dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Lalu, kegiatan belajar-mengajar bisa berlansung tanpa mengurangi kualitas pendidikan bagi siswa hingga kegiatan lainnya juga bisa berjalan sebagaimana mestinya tanpa mengurangi produktivitas.
Dunia pendidikan menjadi salah satu perhatian semua pihak. Selama masa pandemi COVID-19 kegiatan belajar-mengajar harus dilakukan dari jarak jauh atau dari rumah masing-masing. Hal ini tentunya memaksa dunia pendidikan untuk memulai atau melanjutkan kegiatannya menuju transformasi digital.
Direktur Utama Telkomtelstra, Erik Meijer, mengatakan bahwa dunia pendidikan mengalami perubahan selama pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung 18 bulan. Proses transformasi digital tidak bisa dihindari.
Kegiatan belajar-mengajar yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka, kini harus dijalankan secara virtual melalui platform seperti Microsoft Teams, Zoom, GoogleClass, dan sebagainya.
“Oleh karena itu, keamanan siber pemakaian platform tersebut dan implementasi pemakaian cloud yang aman dan mumpuni jadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari,” kata dia, Selasa, 31 Agustus 2021.
Menurut Erik, keamanan siber menjadi tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah, provider, hingga pengguna. Ada dua jenis serangan yang sering terjadi, yakni Phising Attack dan Trojan Attack.
Kedua serangan ini menyebabkan informasi berharga organisasi bisa terekspos secara ‘telanjang’ sehingga bisa diakses oleh siapa pun secara bebas atau data hilang/rusak atau tidak bisa digunakan lagi oleh organisasi. Hal ini dapat mengakibatkan organisasi merugi atau bahkan bangkrut.
“Prinsip hati-hati dan waspada harus menjadi doktrin masing-masing individu di era digital saat ini,” ujarnya. Salah satunya memaksimalkan fitur-fitur security seperti menggunakan Multi-Factor Authentication (MFA), selalu melakukan back up data serta meng-enkripsi semua data penting dan jalur komunikasi.
Hal ini diperkuat oleh data survei dari Ponemon Institute 2020: Cyber Security Awareness Measurement Service, di mana lebih dari 50 persen responden dari C-level mengakui bahwa organisasinya sangat rentan. Data ini mau menunjukkan bahwa human is the weakest link atau manusia menjadi titik terlemah dalam upaya pengamanan siber.
Pada kesempatan yang sama, Dosen Senior Sotftware Systems & Cybersecurity dari Monash University, Amin Sakzad, mengaku sudah menerapkan transformasi digital di dunia pendidikan melalui kriptografi.
Sistem ini dijabarkan untuk metode pembelajaran melalui interaksi online seperti Zoom, Webex, Teams, Classroom Learning Platforms (EdSTEM, Moodle). Kemudian, untuk pendekatan pengajaran melalui Gamification dan AR/VR. Terakhir, untuk proses penilaian melalui online Assessment platforms, eAsseessment, Al-driven invigilation.
“Tantangannya adalah kami harus bisa menyampaikan materi kuliah secara menarik, praktis, dan mudah dipahami. Dengan kriptografi, maka salah satunya metode pembelajarannya melalui pendekatan novel gamification,” jelas Amin.
Meski begitu, ia mengakui di balik implementasi transformasi digital, juga harus mampu menangkal serangan Ransomware, IDS, PenTest, dan Malware. "Kunci suksesnya terletak pada bagaimana kami bisa memaksimalkan data security, organizational security, software security, componet security, dan connection security," papar dia.