Hati-hati Kampanye Terselubung OTT Asing di Indonesia
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA – Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Salah satunya membuat Rancangan Peraturan Pemerintah sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (RPP Postelsiar), yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Aturan tersebut mewajibkan kerja sama layanan over the top (OTT) asing dengan operator telekomunikasi lokal. Namun disayangkan niat baik pemerintah ditolak OTT asing, di mana alasannya bertentangan dengan prinsip netralitas internet atau net neutrality. Padahal konsep tersebut sudah tidak berlaku lagi Amerika Serikat (AS).
Baca: OTT Asing Melawan, Kirim Surat ke Sejumlah Menteri
Sebagai informasi, net neutrality adalah prinsip yang menentukan bahwa penyedia layanan internet (internet service provider/ISP) harus memberikan hak yang setara pada semua konsumen terkait konten yang legal, terlepas dari sumbernya.
Artinya, jika jaringan yang menjadi fondasi internet adalah sebuah jalan raya, maka dengan netralitas internet, tidak akan ada jalur cepat untuk mobil dan jalur lambat untuk sepeda motor. Semuanya berada di posisi yang setara.
Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan, net neutrality yang disuarakan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan kampanye terselubung yang dilakukan OTT asing yang masuk dan berusaha di Indonesia tanpa diikat aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Strategi OTT asing masuk ke sejumlah negara termasuk Indonesia tanpa mau mengikuti aturan perundang-undangan yang ada. Mereka ingin membawakan dan mendistribusikan kontennya secara bebas. Tanpa boleh ada yang mengontrol," tegasnya, Rabu, 17 Februari 2021.
Di sisi lain, Heru melanjutkan, Indonesia tidak mengadopsi net neutrality karena tidak sesuai dengan norma dan perundang-undangan yang ada. Dengan menerapkan net neutrality, OTT asing dapat menyalurkan seluruh konten tanpa adanya kontrol dari pemerintah. Padahal, pengawasan dari pemerintah mutlak diperlukan.
Selain untuk menjaga kedaulatan negara di ruang digital, kontrol juga dibutuhkan agar pemerintah dapat melindungi warga negaranya dari konten-konten negatif dan ilegal yang dibawa oleh OTT asing.
Seperti diketahui bersama, konten ilegal dan negatif seperti pornografi, LGBT, radikalisme, terorisme, serta perjudian dilarang diedarkan di wilayah Indonesia. Hal ini merujuk pada UU ITE, UU Pornografi, dan UU Perjudian.
"Saat ini Indonesia hanya mengenal teknologi netral di industri telekomunikasi dan tidak mengenal net neutrality, karena banyak mudaratnya jadi tidak ada hubungannya dengan kebebasan berpendapat. Itu keliru besar. Masa kita ingin OTT asing menyebarkan konten negatif dan ilegal di Indonesia?" ungkap Heru.
Ia pun memberi contoh kasus Netflix dengan Telkom Grup, di mana platform yang didirikan Reed Hastings itu terdapat konten pornografi dan LGBT. Dengan begitu, Heru menilai wajar jika Telkom Group melakukan pembatasan akses sebagai pelaksanaan dari amanah UU.
"Justru kalau tidak dilakukan pembatasan maka mereka akan disalahkan. Supaya negara berdaulat maka pemerintah harus tegas mengatur OTT asing ke dalam RPP Postelsiar. Untuk itu, pasal kewajiban kerja sama jangan sampai dihilangkan. Karena, menjaga kedaulatan itu bagian tak terpisahkan dari amanah UU," tutur Heru.