Pulsa Saja Mau Dipajaki, Jangan Biarkan OTT Asing Menari-nari
- Flickr/Simon Yeo
VIVA – Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia atau Mastel, Kristiono, mendukung penuh pengaturan kewajiban kerja sama Over The Top (OTT) asing atau global dengan operator telekomunikasi nasional melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Postelsiar, turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi maupun PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi memang belum mengatur secara spesifik model bisnis OTT asing di Indonesia, menurut Kristiono.
Baca: Bicara Jaringan 5G, Indonesia Bisa Tiru Singapura
"Karena saat itu memang belum ada OTT. Inilah sekarang kesempatan dan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menegaskannya dalam draft RPP Postelsiar, sehingga semua OTT global harus patuh," tegas dia, Sabtu, 30 Januari 2021.
Padahal, Kristiono melanjutkan, sesuai definisi telekomunikasi dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 bahwa OTT asing termasuk dalam pengertian jasa telekomunikasi. Dengan begitu, penyelenggara OTT global dapat dikategorikan sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi yang wajib bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Dengan adanya PP yang mengatur model bisnis OTT asing, Kristiono menyebut pemerintah telah menegakkan kedaulatan negara di ranah siber atau digital. Terlebih, OTT global sudah menikmati sangat banyak manfaat ekonomi dari penggunanya yang sangat banyak di Indonesia, tanpa berkontribusi kepada negara.
"Selama ini OTT asing sudah beroperasi di Indonesia tapi seolah tanpa tersentuh aturan. Jadi seolah-olah tidak punya kewajiban apa-apa terhadap negara. OTT global wajib bekerja sama dengan operator telekomunikasi nasional. Pemerintah harus menegaskannya melalui RPP Postelsiar," tegasnya.
Sementara itu, pengamat telekomunikasi Nonot Harsono menilai perlunya pengaturan yang lebih jelas tentang keberadaan pemain OTT global. Menurutnya, kalau OTT asing tidak segera diatur maka semakin banyak mudaratnya bagi negara dan juga industri telekomunikasi nasional.
"Setiap pihak asing menapakkan jangkauan bisnisnya di Indonesia, amatlah lazim mereka meminta izin kepada Pemerintah Indonesia ketika hendak menawarkan akses layanan atau mengambil manfaat dari wilayah orang lain," ujar Nonot.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo juga sudah memberi arahan yang tegas dan jelas tentang pentingnya kedaulatan digital yang harus tanpa kompromi dan harus memberi manfaat besar bagi negara.
Pada sisi lain, para raksasa platform OTT asing yang tengah bersaing memperebutkan pasar pengguna aplikasi global yang mereka miliki akan berusaha keras meyakinkan para penentu kebijakan tertinggi di Indonesia dan negara lainnya untuk tidak mengatur internet atau untuk tidak mengatur kehidupan online warga negaranya.
"Biasanya mereka berdalih 'biarkan internet bebas agar rakyat bebas berinovasi dan mengekspresikan diri'. Padahal, Pemerintah Indonesia berusaha keras merangkul para raksasa ini agar menjadi objek pajak Indonesia melalui paket pengaturan dari Menteri Keuangan. Contohnya seperti pajak transaksi online di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dan aturan lainnya," ungkap Nonot.
Ia juga memaparkan kondisi yang terjadi di industri telekomunikasi saat ini adalah para raksasa OTT global menekan keras operator jaringan nasional dengan kekuatan yang dimilikinya. Tanpa ada regulasi yang mengatur bisnis OTT, maka pemerintah akan kesulitan menjalankan tugasnya sebagai penengah.
"Tukang pulsa saja mau dikenai PPN dan PPH mulai tanggal 1 Febuari, masa OTT asing yang mendapat triliunan rupiah dari masyarakat Indonesia dibiarkan tidak ada berkontribusi ke negara. Bahkan tidak mau permisi mengurus izin, membangun kantor di Indonesia, tidak melaporkan perolehan pendapatan di sini," papar dia.
Apalagi, sejak akhir 2019, Mastel telah mengendus para raksasa OTT global berniat membangun jaringan kabel optik sendiri agar bisa meninggalkan para operator telekomunikasi.
"Artinya, pada waktu yang tidak lama lagi, platform/OTT asing akan punya jaringan sendiri dan akan mendisrupsi industri telekomunikasi. Apakah harus menunggu industri telekomunikasi mati? Atau, bahkan membiarkan platform/OTT global menguasai semuanya dengan dalih hukum alam yang liberal?," beber Nonot.