Langit di Singapura Tak Terlihat Gelap Meski Sudah Malam
- Science
VIVA – Penemuan penerangan buatan dengan listrik pada abad 19 adalah revolusi bagi umat manusia. Satu abad kemudian cahaya buatan itu sudah merambah ke semua segi kehidupan di seluruh dunia.
Sekarang ini sangat sulit dibayangkan kehidupan tanpa lampu listrik. Sekitar 80 persen manusia kini hidup di bawah langit yang terpolusi cahaya buatan. Bahkan di Singapura, warganya tidak bisa lagi beradaptasi dengan gelapnya malam.
Baca: Papan Reklame hingga Stadion Olahraga Sumber Polusi Cahaya
"Cahaya buatan di malam hari adalah rekayasa paling dramatis yang sejauh ini kita lakukan terhadap biosfer," kata Dr. Christopher Kyba, pakar geoinformatika di lembaga penelitian kebumian Geo Forschungs Zentrum di Potsdam kepada Deutsche Welle, Sabtu, 16 Januari 2021.
Ia mengatakan, sepanjang evolusi selalu ada sinyal yang konstan datang dari lingkungan. "Ini siang hari. Ini malam hari. Ini saat bulan purnama. Di kawasan yang mengalami polusi cahaya sangat parah, sinyal ini berubah secara dramatis", kata Dr. Kyba lebih lanjut.
Para ilmuwan memperkirakan, planet Bumi menjadi lebih terang 2% setiap tahunnya. Dan konsekuensi dari pertumbuhan cemaran cahaya ini juga makin kentara.
Pengaruh kesehatan polusi cahaya buatan
Orang yang hidup di kota besar, menjadi yang paling mengalami dampak terlalu banyaknya cahaya buatan. Di kota kedua terbesar India, Mumbai yang populasinya lebih dari 18 juta orang, polusi cahaya buatan sudah memicu masalah kesehatan.
Lampu-lampu billboard, lampu penerangan jalan, lampu sorot di stadion atau arena kegiatan lainnya terus menyala hingga jauh tengah malam, bahkan hingga jam 3 dini hari.
"Saya terganggu oleh cahaya terang yang menembus hingga kamar tidur, akibatnya saya tidak bisa tidur. Secara mental saya terdampak", ujar Nilesh Desai, pekerja perusahaan IT dan juga aktivis antipolusi cahaya di Mumbai. Dia sudah mengajukan keluhan kepada pemerintah tahun 2018, tapi klaimnya itu diabaikan.
Ilmu pengetahuan kini menunjukkan adanya keterkaitan antara polusi cahaya buatan dengan gangguan tidur, cedera mata, obesitas, dan dalam beberapa kasus bahkan depresi.
Sebuah riset dari AS pada pekerja yang melakukan kerja shift malam pada 2007, bahkan menunjukkan adanya koneksi dengan kanker payudara. Semua itu berkorelasi dengan melatonin, hormon yang dilepaskan jika hari menjadi gelap.
"Jika tubuh kita tidak memproduksi hormon tersebut, karena kita terekspos terlalu banyak cahaya pada malam hari sebagai pekerja shift malam, akibatnya seluruh fungsi jam biologis menjadi kacau dan bermasalah", ujar pakar geoinformatika Kyba.
Berdampak pada biodiversitas dan perubahan iklim
Ritme alamiah siang dan malam bukan cuma diperlukan oleh manusia. Hewan liar juga kini mengalami banyak masalah beradaptasi dengan cahaya buatan yang terang benderang di malam hari.
Burung kembara misalnya, kehilangan orientasinya, terumbu karang tidak lagi melakukan reproduksi, dan anak penyu yang baru menetas, justru mengarah ke daratan yang terang bukannya ke ke laut, dan tukik mati.
"Ada perubahan luar biasa akibat meningkatnya intesitas cahaya di malam hari. Ini sesutu yang baru pada evolusi," kata Sibylle Schroer, ilmuwan di Leibniz Institute for Freshwater Ecology and Inland Fisheries di Berlin.
Serangga pun juga terdampak. Sebuah riset menunjukkan, di Jerman saja diperkirakan 100 miliar serangga malam mati setiap tahun pada musim panas, sebagai dampak penerangan buatan.
Serangga yang terbiasa berorietntasi pada sinar bulan, kini tertarik pada lampu jalanan yang jauh lebih terang. Serangga terbang di sekeliling lampu, dan akhirnya mati kelelahan. Atau menjadi terlalu lemah untuk melakukan reproduksi, atau mati dimangsa predator.
Laporan lain yang dirilis pada 2016 menyebutkan, tanaman yang tumbuh dekat lampu penerangan jalan, lebih sedikit diserbuk serangga pada malam hari, dan menghasilkan buah yang lebih sedikit.
Tanaman juga mengalami dampak cahaya lebih banyak pada malam hari, dengan bertunas lebih cepat dan daunnya rontok lebih belakangan di musim gugur. "Efek tunggal pada satu jenis organisme, memiliki efek pada seluruh ekosistem" jelas Schroer.
Di sisi lainnya, di banyak negara saat ini bahan bakar fosil adalah sumber energi utama untuk membangkitkan listrik. Penggunaan penerangan berlebihan di malam hari, memicu naiknya kebutuhan bahan bakar fosil, yang berkontribusi pada pencemaran udara dan perubahan iklim.
Pavan Kumar, ilmuwan dari Rani Lakshmi Bai Central Agricultural University di negara bagian India Utara Pradesh mengatakan, "lebih dari 12 juta ton karbon dikoksida dilepaskan ke atmosfer setiap tahunnya, akibat pembakaran BBM fosil untuk membangkitkan listrik bagi penerangan di malam hari," ungkapnya.