Penyakit ini Sama Gawatnya dengan COVID-19
- dw
Khusus di dunia maya--terutama di media sosial--kekerasan verbal terjadi, kerap dan sulit dibendung. Menurut survei yang dilakukan Amnesty International dan dilansir oleh Geek pada tahun 2018, sejumlah 1,1 juta cuitan di Twitter bernada pelecehan atau cuitan bermasalah ditujukan pada perempuan. Atau rata-rata setiap 30 detik perempuan mengalami kekerasan verbal di Twitter.
Media sosial tempatnya melecehkan perempuan, statement yang valid. Yang lebih menyedihkan, praktik yang mengganggu secara psikis ini justru dinormalisasi dan dianggap risiko bermedia sosial yang harus diterima dengan besar hati.
Dalam platform media sosial, ruang untuk menyuarakan pendapat terbuka seluas-luasnya. Sesuatu yang menyenangkan padahal, siapa yang tak mau opininya didengarkan?
Gaya menyampaikan pendapat pun beragam, bisa disesuaikan dengan karakter. Ada yang riang gembira, santun, dan sedikit jenaka. Ada juga yang tajam, lugas, bahkan kadang kasar.
Nah, yang sering terjadi mereka yang bersemangat dengan opini pribadinya tak bisa menerima opini orang lain yang berbeda sedikit saja, apalagi yang bertolak belakang. Akibatnya kekerasan verbal pun terjadi.
Polarisasi dalam politik membuat kita mengotak-otakkan manusia dengan prinsip ‘you’re either with us or against us’. Dalam interaksi dunia maya, prinsip ini semakin dipertajam dengan rendahnya akuntabilitas individu yang terlibat. Anonimitas menjadi praktik umum.
Pelaku kekerasan verbal bisa bersembunyi di balik keyboard sambil sesuka hati melontarkan kata-kata paling menyakitkan. Mereka menggunakan kata-kata sebagai senjata untuk menyakiti tanpa peduli efek yang ditimbulkan bisa sangat melukai.
Di Twitter, misalnya, bila ada cuitan yang viral dan nadanya kontroversial, apalagi menyangkut soal politik, komentar yang mengikuti bisa dibilang penuh dengan caci-maki.