Facebook dan Google Pakai Fasilitas Operator Telekomunikasi Indonesia
- CIO.com
VIVA – Kehadiran regulasi yang mengatur pemain Over The Top (OTT) akan menegakkan kedaulatan Indonesia di ranah digital. OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Seiring perkembangan, OTT digolongkan berbasis kepada aplikasi, konten, atau jasa. Golongan pelaku usaha masuk OTT di antaranya Facebook, Twitter, dan Google.
OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data, atau menjalankan layanan di mana sebagian besar gratis karena menumpang jaringan bandwidth milik operator telekomunikasi.
Saat ini, OTT menjadi elemen penting dari supply chain broadband, tapi nyaris tak ada regulasi yang mengatur untuk menjaga kompetisi yang sehat dengan ekosistem lainnya, seperti operator telekomunikasi.
"Di beberapa negara setiap upaya untuk memberlakukan peraturan tambahan pada OTT selalu mendapatkan tentangan yang lumayan berat, terutama dengan jargon kalau regulasi bisa menghambat inovasi. Tapi, jika OTT dibiarkan berjalan tanpa regulasi, maka sustainibilitas dari ekosistem digital itu bisa tak berlanjut, terutama bagi operator telekomunikasi yang menjadi bagian dari supply chain broadband," kata Direktur Wholesale and International Service Telkom, Dian Rachmawan, Selasa, 11 Agustus 2020.
Ia menjelaskan kehadiran regulasi yang mengatur bisnis OTT sudah mendesak bagi Indonesia mengingat para pemain ini sama sekali tidak pernah membayar ongkos infrastruktur, dan bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator telekomunikasi, yaitu voice dan messaging.
Sementara pertumbuhan pendapatan berasal dari kenaikan berlangganan data payload seluler. "Bagaimana operator jaringan dituntut terus investasi jaringan untuk membuka akses wilayah yang luas dengan ketidakmerataan infrastruktur di Indonesia. Sementara OTT, terutama asing, tidak ada memiliki kewajiban regulasi apapun," tegasnya.
Dian menuturkan karena OTT sifatnya sangat cair dan global maka mereka menikmati keuntungan yang luar biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara, sementara operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), Pajak, dan sumbangan Universal Service Obligation (USO).
"Saat ini ketimpangan posisi tawar operator telekomunikasi Indonesia dengan OTT, di mana seluruhnya pemain global, sangatlah kontras. Contohnya, ya, kami," ungkap dia.
Dian menyebut, Telkom dan Telkomsel bersama operator telekomunikasi lainnya, dalam memberikan kepastian layanan akses cepat dengan latensi rendah kepada para pengguna internet terpaksa memberikan fasilitas penempatan server/kolokasi gratis sampai ke ujung (edge) kepada Facebook dan Google.
Sementara operator jaringan yang harus berhadapan langsung dengan komplain pelanggannya manakala akses internet mengalami hambatan, bukan OTT. "Indonesia tidak mungkin memblokir beberapa layanan OTT, karena praktik ini bisa merusak tujuan regulasi utama seperti pilihan konsumen dan inovasi," paparnya.
Akan tetapi, pada saat yang sama, adalah sah bagi pemerintah untuk intervensi. Baik secara langsung atau melalui regulator, ketika dianggap kedaulatan nasional terdampak. "Kehadiran regulasi bagi OTT harus serius dipikirkan karena mereka sudah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan kita," jelas Dian.