Kabar Sedih dari Penyedia Layanan Streaming Film
VIVA – Layanan video-on-demand, Iflix dikabarkan ikut tumbang menyusul Hooq. Penyebabnya platform asal Malaysia itu mengalami krisis keuangan.
Menurut laporan yang dikutip dari laman Asia Nikkei, Selasa, 16 Juni 2020, Iflix sedang dalam pembicaraan untuk dijual. Sumber dari dalam perusahaan mengatakan, jika kesepakatan kemungkinan bisa berjalan akhir bulan ini.
Baca juga: Inikah Penyebab Alotnya Netflix Tayang di Indihome?
Kebijakaan ini dilakukan untuk menghindari krisis utang, dan juga telah menunjuk spesialis aset ke dewan direksi setelah kepergian dua pendirinya. Patrick Grove dan Luke Elliot mengundurkan diri pada 9 April 2020 lalu.
Grove dan Elliot juga merupakan pendiri Catcha Group, yaitu pemegang saham dari Iflix. Menyusul keduanya, ada direktur perusahaan lain yaitu David Nairn dan Mark Andrew Licciardo, yang mengundurkan diri pada 9 April lalu.
Iflix akhirnya menunjuk Ryan Shaw dan John Zeckendorf sebagai pimpinan pada 7 Mei 2020. Dua orang tersebut adalah prinsipal Mandala Asset Sollution di Australia, yang digambarkan sebagai ahli dalam situasi aset yang tertekan.
Selain masalah keuangan dan ditinggal pergi beberapa eksekutifnya, pada bulan April Iflix juga memberhentikan sejumlah staf. Jumlahnya sendiri tidak terungkap, namun kabarnya berasal dari berbagai fungsi dan pasar operasionalnya.
Saat itu, Chief Executive Iflix, Marc Barnett menyatakan jika PHK terjadi karena ketidakpastian soal pandemi Covid-19.
"Industri ini tidak kebal dengan keadaan tidak pasti. Keputusan kami untuk mengurangi jumlah karyawan datang dengan pertimbangan yang hati-hati, duntuk memungkinkan perusahaan bisa bertahan dalam periode yang tidak terbatas dan tidak pasti," ungkap Barnett.
Diberitakan sebelumnya, Hooq telah pamit sejak April 2020 lalu. Layanan itu tutup di seluruh negara operasionalnya, yaitu Indonesia, India, Thailand, Fillipina, dan Singapura.
Menurut pihak Hooq saat itu, sejak didirikan terlah terjadi perubahan struktural yang signifikan di pasar video over-the-top serta lansekap kompetisinya. Salah satunya, kemauan pasar untuk membayar saat pilihan layanan juga meningkat.
"Penyedia konten global dan lokal semakin terarah, harga konten terus tinggi, dan kemauan pasar untuk membayar semakin tinggi di tengah serangkaian pilihan yang terus meningkat," kata Hooq, dikutip dari Business Times.