Tragis! PRT Dipecat lewat WhatsApp, Padahal Lagi Virus Corona
- Instagram/@dailyinfotech
"Dapat sih bantuan dari pemerintah, tapi mau masak kan beli gas? Pakai listrik, beli air, dan lainnya," tambahnya.
Survei Jala PRT: Banyak PRT dipecat dan dirumahkan
Jala PRT melakukan survei singkat terhadap sekitar 600 PRT yang terdampak pandemi.
Hasilnya, mayoritas mereka dipecat dan dirumahkan tanpa upah atau dengan upah yang berkurang.
"Sebanyak 53 orang di-PHK . Lalu, 218 orang dirumahkan dan tidak bekerja sama sekali tanpa upah atau diberikan upah 25 hingga 50 persen ," kata Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jala PRT.
Sisanya, mengalami kehilangan satu atau dua pekerjaan namun masih dapat bekerja di tengah wabah Covid-19.
Lita menambahkan, banyak dari para PRT tersebut tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sebabnya, karena PRT belum diakui sebagai pekerja formal sehingga PRT tidak masuk dalam data pekerja pemerintah.
"Mayoritas PRT, KTP-nya daerah dan tinggal di kota sehingga PRT tidak terdaftar dan mengakses bansos dari pemerintah. Padahal mereka adalah pekerja dan warga negara yang pendapatannya terendah antara 20 hingga 30 persen dari UMR," kata Lita.
Sistem PRT: Sistem feodal menjadi `perbudakan modern`
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada Tadjudin Nur Effendi menilai perlakuan terhadap PRT adalah bentuk dari perbudakan modern.
"Tuannya belum tidur, dia masih tetap kerja. Tuannya belum bangun, dia sudah bangun. PRT itu jadi obyek eksploitasi. Mereka tidak ada kontrak kerja, tidak ada jam kerja, tidak ada perlindungan kerja, dan rawan kekerasan, kadang gajinya ditahan. Diperlakukan seenak majikan. Itukan seperti perbudakan modern," Kata Tadjudin.
- Kemenkes rilis prosedur kepulangan WNI setelah ratusan ribu pekerja migran sudah pulang ke Indonesia
- Bandara Soekarno Hatta dipadati penumpang, `disengaja` maskapai
- Wacana simulasi pelonggaran PSBB: `Apa yang mau dilonggarkan? Ini sudah longgar sekali`
Tadjudin melanjutkan para PRT bekerja tanpa ada perlindungan kerja dan termasuk sebagai pekerjaan informal sehingga rawan terjadinya pelanggaran kerja.
"PRT tidak dibutuhkan ya sudah pecat saja, segampang itu. Kamu tidak usah bekerja lagi besok, selesai. Tidak ada pesangon, dan lainnya," katanya.
Dilihat dari sisi sejarah, lanjut Tadjudin sistem PRT di Indonesia berlangsung dari era penjajahan Belanda, dengan sistem feodal yang dikuasai oleh kaum bangsawan.
"Orang dari desa, miskin, istilah bahasa Jawa, ngenger [ikut orang lain] ngalap berkah. Jadi dibayar atau tidak yang penting dapat perlindungan secara sosial.
"Kemudian berkembang terus hingga sekarang, PRT dianggap tidak penting, dipekerjakan dari mulut ke mulut, Apalagi PRT itu adalah ibu-ibu dari kampung, miskin, pendidikan rendah, pengetahuan terbatas yang sebenarnya pemerintah punya tanggung jawab melindungi mereka," kata Tadjudin.