Yuk, Tetap Kerja Work from Home Meski Wabah Corona Berakhir
- Unsplash
Bisakah tetap kerja di rumah aja (work from home) meski wabah Corona berakhir? Sebab, seperti diketahui, Virus Corona yang menyerang hampir seluruh negara di dunia membuat tren kerja di rumah aja melonjak.
Seperti yang dilakukan Jerman, di mana secara bertahap membuka kembali kehidupan publik setelah berminggu-minggu pembatasan Virus Corona.
Keputusan ini diikuti negara tetangganya, seperti Austria dan Denmark, dan negara-negara lain yang virusnya mulai mereda, seperti China. Negara-negara lainnya, masih mengamati keadaan.
Mungkin tidak lama lagi, para pekerja yang tadinya selama wabah untuk kerja di rumah aja (work from home), akan membiarkan perangkat lunak video konferensi mereka menganggur, kembali mengenakan pakaian kerja, masuk ke mobil dan pergi bekerja.
Lebih jauh ke depan, mereka yang tadinya tidak memiliki kendaraan sendiri mungkin ada pula yang mempertimbangkan untuk membeli mobil, karena pengalaman pandemi memicu kekhawatiran untuk naik transportasi umum.
Jika hal itu terjadi, akibatnya bisa menjadi kemunduran bagi perlindungan lingkungan. Di kota-kota besar yang warganya diimbau tetap di rumah, tampak lebih sedikit kendaraan di jalan, sehingga polusi udara pun turun.
Sebuah studi dari IQAir, sebuah perusahaan teknologi kualitas udara, menunjukkan selama masa lockdown terjadi penurunan 60 persen partikel halus di New Delhi, India salah satu kota paling tercemar di dunia. Di kota Wuhan, China, tercatat penurunan sebesar 44 persen.
Media sosial telah menampilkan banyak foto yang menunjukkan langit biru di seluruh dunia. "Polusi jelas telah menurun secara dramatis," kata Ken Gillingham, seorang ekonom energi dan lingkungan di Universitas Yale.
"Dan itu kombinasi dari berkurangnya transportasi, bersamaan dengan ditutupnya fasilitas industri dan komersial, sehingga orang tetap tinggal di rumah."
Apakah aktivitas kita harus kembali seperti dulu?
Fasilitas industri dan komersial dalam berbagai tahap muncul dari penutupan di seluruh dunia. Hal ini tidak bisa dihindari. Tetapi apakah tidak terhindarkan pula bahwa kita semua, suatu hari, kembali bekerja di kantor?
Pada 2018, sebuah tim termasuk Kimberly Nicholas, seorang ilmuwan keberlanjutan di Universitas Lund, mensurvei studi perilaku di mana pengurangan emisi dapat diukur - seperti konsumsi daging dan penggunaan energi rumah tangga – dan menemukan bahwa bekerja dari rumah mengurangi emisi terbanyak dari semua sektor yang diriset.
"Bekerja dari rumah sebagai kebalikan dari mengemudi ke tempat kerja secara substansial mengurangi polusi. Dan itu adalah polusi iklim - gas rumah kaca, dan polusi partikel," katanya kepada DW.
"Gas rumah kaca ribuan tahun terakhir, pada dasarnya selamanya, berada di atmosfer kita. Sebaliknya, polusi partikel yang paling memengaruhi kesehatan kita secara langsung adalah tindakan yang lebih singkat. Kita memang melihat efek langsung dari lebih sedikitnya orang mengemudi dan juga pengurangan pembakaran bensin di udara.”
Dengan kata lain: Setiap aksi mengemudi yang hilang menambah perbedaan besar pada kualitas udara.
Tidak berfungsi bagi semua
Eksperimen kerja rumahan berskala besar yang dipicu oleh merebaknya virus telah menunjukkan bahwa bekerja dari rumah, dapat berfungsi dengan baik, untuk segmen populasi tertentu. Patut dipertimbangkan apakah mereka yang berada dalam posisi untuk bekerja dari rumah harus terus melakukannya.
"Tentu saja mungkin ada persentase besar jumlah orang yang akan kembali ke rutinitas lama ketika krisis corona berakhir," kata Johannes Schuler dari Institut Fraunhofer. "Tapi tren orang akan lebih sering bekerja dari rumah, saya rasa akan bertahan, sebelum ada skeptisisme yang besar tentang seberapa baik kerjanya. Sekarang banyak yang harus mencobanya."
"Bekerja dari rumah selalu positif bagi lingkungan," kata Schuler kepada DW. "Jika hanya 10 persen dari semua karyawan akan mulai dengan satu hari kerja dari rumah per minggu, ini saja pun akan menghasilkan efek yang sangat besar."
Tetapi mengubah kebiasaan bekerja dari rumah menjadi norma sosial yang meluas adalah skenario yang masih jadi tanda tanya, mengingat tidak semua orang bisa melakukannya.
"Keadaan ini sedikit lebih sulit jika kita berbicara tentang, katakanlah, pekerja di fasilitas industri, pekerja kerah putih yang harus pergi ke bangunan komersial besar seperti bank," kata Gillingham.
Keresahan luas di kalangan eksekutif
Dan bahkan pengalaman saat ini dengan pembatasan bahwa warga harus tinggal di rumah, mungkin tidak cukup untuk memaksa perubahan, jika dipandang dari kacamata banyak majikan yang menuntut kehadiran fisik pegawainya setelah masa karantina dicabut.
"Ada beberapa perusahaan yang tidak percaya bahwa pekerjanya benar-benar bekerja dari rumah dengan cara yang sama mereka bekerja di kantor dan dengan cara itu mencoba untuk mencegah pendekatan kerja dari rumah," kata Schuler.
"Aspek lainnya adalah mereka bahkan tidak tahu bahwa bekerja dari rumah mungkin bermanfaat bagi lingkungan. Saya pikir alasan itu sama sekali bukan hal yang masuk akal bagi perusahaan."
Sebagian karyawan menemukan kebebasan dalam menjaga pekerjaan dan kehidupan pribadi mereja di satu tempat, dan benar-benar menghilangkan waktu perjalanan.
Namun ada pula karyawan-karyawan yang ingin kehidupan pekerjaan dan pribadi benar-benar terpisah. Tetapi memberi karyawan kesempatan untuk memilih, apakah pergi ke kantor atau kerja di rumah aja (work from home), bisa berarti manfaat lebih besar untuk semua.
Tidak ada yang menyarankan bahwa langkah-langkah yang dilakukan selama pandemi Corona yang telah menyebabkan penderitaan dan kesulitan manusia yang mengerikan harus menjadi dasar untuk masa depan yang berkelanjutan.
Perubahan kebiasaan kerja juga bukan pengganti transisi nyata menuju ekonomi rendah karbon. Tetapi gangguan yang ditimbulkan oleh pandemi memaksa kita semua untuk merefleksikan kehidupan kerja. (ap/yf)