Facebook Punya Sejarah Kelam Soal Perlindungan Data Pribadi, BI Ragu
- WIRED Middle East
VIVA – Facebook memiliki sejarah kelam soal perlindungan data pribadi sehingga membuat Bank Indonesia (BI) ragu untuk memberi izin layanan keuangan digital mereka, Facebook Pay, beroperasi di Tanah Air. Facebook rencananya akan menggunakan platform WhatsApp dan Instagram untuk bertransaksi.
Seperti diketahui, skandal Cambridge Analytica beberapa tahun lalu membuat media sosial besutan Mark Zuckerberg itu jadi bulan-bulanan penggunanya. Bahkan, ada gerakan untuk memboikot Facebook. Namun peristiwa itu seperti tidak membuat mereka jera. Kasus terbaru menyebutkan sebanyak 267 juta akun pengguna Facebook diretas dan dijual murah di situs Dark Web.
Tak heran jika Bank Indonesia (BI) masih meragukan kredibilitas Facebook Pay yang sudah mengajukan izin sejak September 2019. Aturan terkini tentang perlindungan data pribadi mengharuskan penyedia layanan perbankan mendapatkan persetujuan yang memadai dari klien, untuk menyimpan data pribadi nasabah dengan aman dan rahasia.
Namun sayangnya, peraturan tersebut tidak secara khusus dirancang untuk kegiatan layanan keuangan melalui jejaring sosial seperti Facebook, yang merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan oleh bank sentral.
"BI sebagai regulator tentu harus merumuskan dan memaksakan amandemen aturan untuk melindungi pengguna Indonesia dari Facebook Pay, sebelum mengizinkan mereka untuk beroperasi," kata Wakil Presiden Investasi MDI Ventures, Aldi Adrian Hartanto, seperti dikutip dari situs Kr-Asia, Senin, 27 April 2020.
Kendati demikian, menurut Hartanto, keberadaan Facebook Pay akan bermanfaat bagi industri digital Indonesia secara keseluruhan. Karena, akan banyak orang Indonesia menggunakan setidaknya satu aplikasi ekosistem Facebook, di mana hal itu akan mendorong penetrasi pembayaran digital.
Game-changer
Bukan itu saja. Hartanto menyebut masuknya Facebook Pay di Indonesia juga bisa bermanfaat bagi bisnis periklanan. Facebook akan mengumpulkan data tentang metode pembayaran, tanggal transaksi, penagihan, pengiriman serta detail kontak, yang berharga untuk meningkatkan relevansi iklan di semua platformnya.
Selain itu, mitra lokal akan dapat memanfaatkan basis pengguna jejaring sosial yang sangat besar di Indonesia, membuat aliansi menguntungkan bagi semua pihak. Ia percaya bahwa Facebook Pay akan menjadi pembeda atau game-changer untuk bagaimana konsumen Indonesia menggunakan layanan keuangan digital.
"Pengguna Facebook sangat besar di Indonesia. Sedangkan penetrasi terhadap perbankan masih di bawah 50 persen. Jadi saya melihat ini adalah titik masuk yang tepat untuk meluncurkan lebih banyak produk keuangan digital," tegas dia.
Jika Facebook Pay akhirnya mendapat lisensi Bank Indonesia (BI), maka akan menjadi platform pembayaran asing kedua setelah WeChat Pay. Platform asal China itu menerima lampu hijau dari BI pada Januari 2020, setelah membentuk kemitraan dengan Bank CIMB Niaga. WeChat Pay hanya dapat digunakan oleh wisatawan China yang berkunjung ke Indonesia.