Banyak Orang Pintar dan Terdidik Percaya Hoax COVID-19
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
Lihat misalnya penulis Kelly Brogan, seorang yang percaya teori konspirasi seputar COVID-19. Kelly lulusan Massachusetts Institute of Technology dan belajar psikiatri di Cornell University.
Namun, ia mengabaikan bukti akan bahaya virus tersebut yang sudah terjadi di China dan Italia. Ia bahkan mempertanyakan teori ilmiah sembari mempromosikan ide-ide sains palsu untuk menjelaskan virus ini.
Bahkan beberapa pemimpin dunia, yang diharapkan punya penilaian lebih baik soal desas-desus, telah ikut menyebarkan informasi keliru soal risiko penyakit ini dan mempromosikan obat-obatan yang belum terbukti, yang dampaknya malah memperburuk keadaan.
Para psikolog sudah mempelajari fenomena ini dan menyarankan beberapa hal untuk melindungi diri dari kebohongan dan kekeliruan informasi seperti ini.
Limpahan informasi
Masalahnya berawal dari sifat pesan-pesan ini sendiri. Kita mendapat informasi setiap hari, dan kerap mengandalkan intuisi untuk menentukan apakah sesuatu benar atau tidak. Para penyebar informasi palsu ini bisa membuat berita mereka terasa ‘ada benarnya’ melalui akal-akalan sederhana yang membuat kita jadi tak berpikir kritis.
Eryn Newman dari Australian National University, memperlihatkan adanya foto yang mengiringi pernyataan tertentu akan meningkatkan kepercayaan terhadap akurasi pernyataan tersebut, sekalipun foto itu nyaris tak berhubungan.
Foto generik virus yang mengiringi klaim tentang cara pengobatan baru tentu tidak akan membuktikan kebenaran klaim itu, tetapi membantu kita memvisualisasinya. Maka dari itu, kelancaran dalam memproses, ini membuat kita berpikir bahwa berita tersebut benar.
Karena alasan serupa, informasi palsu juga bisa menyertakan bahasa deskriptif dan kisah personal. Terkadang ditampilkan fakta atau tokoh, atau lembaga kesehatan terkenal, agar membuat kebohongan itu meyakinkan karena terkait dengan pengetahuan yang sudah kita punya sebelumnya.
Pernyataan sederhana yang diulang-ulang, baik dengan teks yang sama atau diubah, bisa meningkatkan kebenaran melalui meningkatnya perasaan akrab terhadap informasi terebut. Lalu kita kerap keliru menganggapnya sebagai kebenaran faktual.