Seramnya Kilatan Petir saat Gunung Taal Erupsi, Begini Penjelasan BMKG
VIVA – Gunung Taal di Manila, Filipina meletus dan memuntahkan abu dan awan panas hingga ketinggian 15 kilometer (km). Akibat erupsi gunung tersebut Minggu malam, 12 Januari 2020, ribuan orang dievakuasi, bandara lumpuh, kantor dan sekolah pun diliburkan di sejumlah wilayah terdampak.
Taal merupakan salah satu gunung berapi kecil, tapi paling aktif di Filipina. Gunung ini telah meletus lebih dari 30 kali dalam lima abad terakhir.
Sebelum erupsi kemarin, Gunung Taal meletus terakhir kali pada tahun 1977. Sementara letusan yang terjadi pada 1911 telah menewaskan 1.500 orang, sedangkan letusan pada tahun 1754 berlangsung selama sebulan.
Saat erupsi kemarin, gunung ini bergemuruh disertai dengan gempa bumi dan kilatan petir berulang kali di antara debu awan panas yang dimuntahkan. Sejumlah warga setempat yang menyaksikan fenomena bencana tersebut merekam dan memotretnya. Mereka mengunggah gambar tersebut di media sosial.
Anda bisa melihat video detik-detik erupsi gunung tersebut yang disertai dengan petir, di sini.
Penjelasan BMKG
Sementara itu, Badan Meteorologi, Meteorologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa terjadinya petir pada saat erupsi gunung berapi tidak jauh berbeda dengan mekanisme petir yang biasa terjadi. Namun, awan cumulunimbus yang menjadi 'sarang' petir tergantikan oleh awan kepulan uap air, abu, debu, dan partikel vulkanik lain yang menyembur ke angkasa secara masif.
Ada beberapa teori tentang terjadinya petir vulkanik. Pertama, sebagian besar atom-atom yang pada awalnya netral bertemu dengan banyak energi bebas yang hadir disertai suhu sekitar 1.500 kelvin, tentu ada energi yang cukup untuk melempar keluar elektron yang terikat lemah dari beberapa atom yang mengikat mereka. Sementara pada saat yang sama ada atom-atom yang ingin mengambil elektron yang baru dibebaskan ini.
"Peristiwa tersebut menciptakan sejumlah besar ion ion positif dan ion ion negatif, proses selanjutnya adalah muatan ion negatif dan positif tersebut akan terpisah. Ketika ion-ion tersebut terpisah dengan jarak yang cukup, muncullah beda potensial listrik yang akan menyebabkan sambaran petir," tulis keterangan BMKG di Twitter.
Teori kedua, ketika gunung berapi meletus, gunung berapi mengeluarkan partikel abu panas, uap, dan gas. Partikel mula-mula netral, tetapi dengan bertabrakan dengan satu sama lain mereka dapat mentransfer muatan satu sama lain dan berubah menjadi massa positif atau negatif.
Ketika partikel debu vulkanik bertabrakan satu sama lain, kemudian terjadi (ionisasi) pemisahan muatan terjadi dengan proses yang disebut aerodynamic sorting. Pemisahan muatan positif dan negatif terjadi melalui adanya awan vulkanik yang menyebabkan awan tersebut bermuatan positif di salah satu ujung dan bermuatan negatif di ujung lainnya, kemudian pemisahan ini terus berlanjut sampai terlewat batas dan listrik mulai mengalir antarkedua muatan yang berbeda, sehingga menyebabkan terjadinya petir saat letusan gunung berapi.
Sementara teori lain berpendapat bahwa partikel yang lebih besar mungkin memiliki muatan positif dan partikel yang lebih kecil mungkin memiliki muatan negatif dan sebagai partikel yang lebih besar jatuh lebih cepat, yang mungkin membuat pemisahan yang diperlukan untuk menghasilkan petir.
"Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas erupsi gunung berapi bukan pemicu secara langsung terjadinya petir, jadi meskipun terjadi erupsi utama, tidak berarti kejadian petir memiliki kuantitas yang paling besar," tutur keterangan tersebut.