Walau Sering Meledak, Penemu Baterai Ponsel Lithium-ion Dapat Nobel
- cbc.ca
VIVA – Yayasan Nobel telah membagi-bagikan jatah penghargaan beberapa waktu lalu. Untuk Nobel Kimia, tiga ilmuwan berhasil didapuk sebagai penerima penghargaan karena usaha dan karya mereka menemukan dan mengembangkan baterai lithium-ion.
Lithium-ion memang cukup dikenal oleh para pengguna ponsel saat ini. Kemunculannya menjadi salah satu komponen yang paling diandalkan untuk membuat ponsel tetap hidup seharian dan penggunanya tetap terhubung satu sama lain.
Ternyata semua itu adalah hasil karya dari tiga ilmuan berbeda institusi. Mereka adalah John B. Goodenough, M. Stanley Whittingham dan Akira Yoshino. Mereka berhasil mengembangkan lithium-ion sebagai salah satu solusi untuk mendapatkan daya untuk sebuah perangkat.
Sejatinya penemuan baterai telah berusia lebih dari 100 tahun. Namun didorong oleh krisis minyak dan pencarian sumber energi berbahan bakar fosil, membuat para peneliti dari Exxon mulai mengembangkan baterai yang dapat diisi ulang. Periset dari Exxon itu termasuk Whittingham. Kemudian, tak puas sampai di situ, pengembangan yang dilakukan oleh Goodenough dan Yoshino-lah yang membuat Lithium-ion bisa diletakkan di dalam perangkat yang kita genggam saat ini.
Dalam mengaktifkan oksidasi dan reduksi lithium yang terkendali, Goodenough, Whittingham, dan Yoshino mampu menjinakkan salah satu elemen yang paling keras dan tidak stabil. Lebih dari empat dekade, temuan ini sekarang bisa aman digunakan, bahkan diletakkan dalam saku sekalipun,” ujar Dan Steingart, co-director Columbia University Electrochemical Energy Center, dikutip dari Gizmodo, Kamis, 10 Oktober 2019.
Dalam prosesnya, baterai bekerja pada proses yang relatif sederhana, yakni Elektroda positif dan negatif, masing-masing disebut katoda dan anoda, berada dalam zat yang disebut elektrolit. Ketika dihubungkan ke suatu rangkaian, reaksi kimia spontan di anoda menghasilkan partikel pembawa muatan yang disebut elektron, yang berjalan melalui kawat, memberi daya pada elektronik, dan kemudian dimasukkan melalui reaksi kimia lain ke dalam katoda.
“Sedangkan proses isi ulang baterai memerlukan pembalikkan reaksi untuk memindahkan elektron kembali dari katoda ke anoda,” jelasnya.
Penemuan baterai sejatinya telah ada sejak ditemukan oleh Wilhelm Sinsteden pada 1854. Kemudian seiring berjalannya waktu, riset tentang baterai terus dilakukan, termasuk oleh Gaston Plante dan Thomas Edison yang membuat baterai menggunakan material lain. Lalu pada abad ke-20, para ilmuwan menyadari jika Lithium bisa jadi materi baterai yang lebih baik dengan energi yang lebih padat. Pada 1972, barulah dipikirkan bagaimana agar baterai lithium bisa dimasukkan ke dalam sebuah perangkat.
Whittingham awalnya mengembangkan baterai dengan litium sebagai anoda penyuplai elektron, namun dia tidak menemukan katoda yang tepat, yang dapat mengambil semua elektron tersebut dan mengakomodasi ion litium yang dihasilkan di anoda. Dia dan koleganya di Exxon sempat mengusulkan penggunakan titanium disulfide, yang dapat mengambil ion lithium di antara lapisan-lapisannya.
“Mereka menghasilkan baterai isi ulang yang berfungsi pada tahun 1976. Tim Goodenough di Oxford menemukan bahan lain untuk berfungsi sebagai katoda yang dapat menghasilkan tegangan lebih tinggi, yang disebut cobalt oxide,” jelasnya.
Sayangnya, baterai lithium-ion dengan lithium logam murni sebagai anoda berpotensi menyebabkan baterai mengalami hubungan pendek, reaktif dan bisa meledak. Para peneliti pun merasa perlu menemukan bahan lain yang lebih aman untuk anoda.
Yoshino, yang bekerja di Asahi Kasei Corporation di Jepang, menyadari bahwa bahan yang disebut petroleum coke dapat diisi dengan ion lithium dan berfungsi sebagai anoda.
“Anoda Yoshino dan katoda Goodenough menjadi solusi agar baterai tidak reaktif dan tidak meledak, bahkan saat perangkat jatuh sekalipun,” tutupnya.