Hanya Meneliti Udara, 3 Ilmuwan Ini Diganjar Nobel Rp12,8 Miliar

Ketiga ilmuwan penerima Nobel Kesehatan 2019
Sumber :
  • BuzzFeed

VIVA – Tiga orang ilmuwan telah diganjar hadiah Nobel di bidang Fisiologi atau Kesehatan hanya karena meneliti udara. Ketiga ilmuwan itu meneliti bagaimana sebuah sel dalam tubuh bisa merasakan dan merespons oksigen. 

Ribuan Ilmuwan Dunia Termasuk Peraih Nobel Tulis Surat Terbuka Desak Gencatan Senjata Gaza

Hal ini dianggap merupakan proses yang penting dalam semua kehidupan mahluk di bumi. Riset ini bisa juga menjadi dasar medis untuk menemukan cara menyembuhkan anemia, sekaligus berpotensi menemukan cara baru untuk menghalau pertumbuhan tumor pada kanker.

Dilansir melalui BuzzFeed News, Selasa, 8 Oktober 2019, ketiga ilmuwan itu adalah William Kaelen dari Dana-Farber Cancer Institute di Harvard University, Sir Peter Ratcliff dari Oxford University, dan Greg Semenza dari John Hopkins University. 

Sepak Terjang Muhammad Yunus, Pemimpin Baru Bangladesh yang Sukses Atasi Kemiskinan

Ketiganya mendapatkan hadiah Nobel karena hasil temuan mereka yang mampu mengidentifikasi mesin molekuler yang memungkinkan sel untuk merespons berbagai tingkat oksigen.

“Temuan mendasar ini telah memberikan pengaruh besar pada pemahaman kita tentang bagaimana tubuh beradaptasi terhadap perubahan, dan temuan ini sudah mulai mempengaruhi cara praktik kedokteran,” ujar Randall Johnson dari Karolinka Institute yang menjadi salah satu komite juri Nobel.

Nasabah PNM Mekaar Lampaui Grameen Bank, Jokowi Sebut Bos BRI Harusnya Dapat Nobel

Dalam penelitian tersebut, oksigen memberi kekuatan pada semua sel hewan, bahan yang diperlukan dalam proses mengubah makanan menjadi energi yang dapat digunakan. Pada tahun 1931, Hadiah Nobel diberikan kepada Otto Warburg, karena penelitiannya menunjukkan bahwa konversi ini merupakan proses enzimatik yang membutuhkan oksigen.

Yang tidak diketahui dari penelitian sebelumnya adalah bagaimana sel-sel individual merasakan dan merespons fluktuasi kadar oksigen. Sel-sel secara konstan mengalami perubahan dalam ketersediaan oksigen, seperti ketika otot bekerja selama latihan, saat mengalami perubahan ketinggian, atau bahkan dengan cara lokal ketika luka mengganggu suplai darah lokal.

Kadar oksigen yang rendah, yang juga dikenal sebagai hipoksia, memicu lonjakan hormon erythropoietin (EPO), yang mengarah pada peningkatan produksi sel darah merah.

Karya paling awal dari tiga pemenang Hadiah Nobel, oleh Gregg Semenza dari Johns Hopkins University, menunjukkan bahwa peningkatan EPO selama hipoksia ini disebabkan oleh bagian spesifik dari gen EPO yang disebut hypoxia-response element (HRE). Dengan menggunakan tikus yang dimodifikasi secara genetik, Semenza mampu menunjukkan bahwa HRE merespons pergeseran kadar oksigen.

Semenza menggunakan bagian gen ini untuk mengisolasi protein yang mengendalikan ekspresi gen EPO, termasuk protein pengikat DNA penting yang disebut HIF-1?. Protein ini terdegradasi dengan cepat ketika kadar oksigen tinggi, tetapi ketika kadar oksigen rendah, jumlah HIF-1? meningkat, menyebabkan sel untuk menghasilkan lebih banyak EPO yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi sel darah merah.

Tim Semenza dan Ratcliffe di Oxford menunjukkan bahwa mekanisme penginderaan oksigen ini ada di mana-mana di seluruh sel dalam tubuh.

Terpisah dari penelitian Semenza dan Ratcliffe tentang gen EPO, Kaelin dari Dana-Farber Cancer Institute di Harvard sedang mempelajari penyakit genetik yang disebut penyakit von Hippel-Lindau (VHL), yang terkait dengan peningkatan risiko kanker tertentu. Kaelin menunjukkan bahwa mutasi pada gen VHL terkait dengan ekspresi yang lebih tinggi dari gen yang diatur hipoksia, yang menghubungkan gen VHL dengan respons hipoksia juga. Ratcliffe kemudian menunjukkan bahwa gen VHL secara fisik berinteraksi dengan protein yang telah mereka pelajari, HIF-1?, menunjukkan bagaimana gen tersebut mendegradasi protein pada tingkat oksigen normal.

Temuan ketiga ilmuwan tersebut sekarang sedang dikembangkan dalam bentuk obat, termasuk dalam obat-obatan untuk meningkatkan HIF yang digunakan untuk mengobati anemia. Bisa juga untuk menekan HIF yang digunakan dalam mengobati beberapa penyakit kanker. 

Tiga ilmuwan ini akan berbagi hadiah Nobel senilai $908 ribu atau sekitar Rp12,8 miliar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya