Logo BBC

Kata Komnas Perempuan, Vina Garut Itu Korban, Tak Bisa Kena UU ITE

Kuasa Hukum V mengatakan kliennya mengaku mendapat ancaman jika menolak kemauan AK untuk melakukan hubungan seksual dengan lelaki lain. - BBC/Davies Surya
Kuasa Hukum V mengatakan kliennya mengaku mendapat ancaman jika menolak kemauan AK untuk melakukan hubungan seksual dengan lelaki lain. - BBC/Davies Surya
Sumber :
  • bbc

Komnas Perempuan menilai Polres Garut, Jawa Barat, keliru dalam menetapkan status tersangka kepada perempuan berinisial V – yang tampil dalam adegan-adegan video seks bersama sejumlah lelaki yang beredar di masyarakat.

Perempuan berusia 19 tahun ini dijerat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang Undang Pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp5 miliar.

Anggota Komnas Perempuan, Thaufiek Zulbahari menilai V semestinya menjadi korban dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Menurutnya, sejumlah unsur tindak pidana perdagangan manusia dalam perkara ini sudah terpenuhi.

Thaufiek memaparkan, terdapat proses V diajak, dibawa, kemudian dieksploitasi. V, tambahnya, berada di dalam posisi rentan dan di bawah kekuasaan mantan suaminya, AK.

"Unsur ketiga, tujuannya sudah jelas. Kita sudah tahu pemanfaatan organ tubuh seksual yang dari korban untuk pelaku mendapatkan keuntungan," kata Thaufiek wartawan Muhammad Irham yang melaporkan untuk BBC Indonesia, Kamis (22/08).

Pasal 18 UU TPPO berbunyi, "Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana."

"Kalau dia korban TPPO, maka pidana dalam UU Pornografi dan UU ITE tidak boleh dijatuhkan kepada korban TPPO," lanjut Thaufiek.

Komnas Perempuan akan melakukan pemantauan ke lapangan dan menemui keluarga untuk menggali fakta-fakta yang bisa dijadikan pembelaan kepada V.

Saat dikonfirmasi mengenai status tersangka terhadap V, Kapolres Garut, Budi Satria Wiguna, meminta BBC Indonesia bertanya kepada Kasat Reskrim, Maradona Armin Mappaseng.

Namun, sejak kemarin belum ada respons, baik melalui pesan singkat maupun sambungan telepon.

Sebelumnya, Polres Garut menetapkan AK dan V sebagai tersangka dalam kasus `video Garut`. Selain V dan AK, seorang pria berinisial B alias W menyerahkan diri.

"B ini statusnya masih sebagai saksi. Dia mengaku ada dalam salah satu video," kata Kapolres Garut, AKBP Budi Satria Wiguna kepada media, Kamis (15/08).

Hasil penyelidikan polisi menyebutkan motifnya karena uang. AK menjual V lewat media sosial Twitter dengan tarif Rp500 ribu.

"Ia juga menjajakan V dari mulut ke mulut. V dan A ini lebih dari dua kali melakukan aksi ramai-ramai, tapi kalau yang ada video katanya cuma dua," tambah Budi.

Mulai divideokan saat di bawah umur

Kuasa Hukum V, Budi Rahadian, mengatakan kliennya mengaku mendapat ancaman jika menolak kemauan AK untuk melakukan hubungan seksual dengan lelaki lain.

"Dia dipaksa dan diminta oleh suaminya... Kalau tidak, `dihancurkan keluarga kamu`. Ada ancaman seperti itu," kata Budi menirukan keterangan dari pihak keluarga dan V, Kamis (23/08).

Budi pun merunut kasus ini berdasarkan keterangan V dan keluarganya.

Pada mulanya V menikah dengan AK pada 2017 di usia 17 tahun. Perempuan lulusan SMP ini menikah siri, dan sempat berpisah dengan AK saat usia pernikahan berlangsung enam bulan.

"Tapi dibujuk lagi, lalu bersama lagi (dengan AK)," kata Budi.

Sejak berumah tangga, sebagaimana dipaparkan Budi, AS selalu merekam setiap berhubungan intim dengan V.

Walau V beberapa kali sempat menolak, lanjut Budi, V patuh setelah AK bilang itu untuk koleksi pribadi.

"Di samping itu juga dia harus melayani laki-laki yang dibawa oleh suaminya," sambung Budi.

Pada akhir 2018, masih dipaparkan Budi, V memilih meninggalkan AK dan tinggal bersama ibunya.

Tapi kini video hubungan intim bersama dengan sejumlah lelaki yang diduga direkam pada 2018 beredar di masyarakat.

V kini berusia 19 tahun. Budi mengatakan pembuatan video hubungan seksual sudah dilakukan oleh AK sejak 2017, saat V berusia 17 tahun atau tergolong di bawah umur.

Anggota Komnas Perempuan, Thaufiek, menilai V telah menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sehingga kepolisian semestinya menjerat AK.

Sementara itu, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sitty Hikmawatty, mengatakan pihaknya akan mendalami fakta-fakta dugaan eksploitasi terhadap V saat masih berusia anak.

Sitty juga menempatkan V sebagai korban dalam perkara ini.

"Kalau data-datanya bisa kita telusuri dan bisa kita angkat, kita bisa masukkan dalam ranah pidana. Ketika ini terjadi pada usia muda, itu juga ada sebuah eksploitasi," kata Sitty melalui sambungan telepon, Kamis (22/08).

Pelaku perdagangan manusia justru dari keluarga

Kasus V yang diduga menjadi korban perdagangan manusia bukan pertama kali terjadi.

Komnas Perempuan mencatat terjadi peningkatan kasus seperti ini dalam dua tahun terakhir. Pada 2017, tercatat 139 kasus TPPO. Adapun tahun berikutnya tercatat 158 kasus.

"Data pengaduan langsung TPPO ke Komnas Perempuan didominasi kasus Pekerja Rumah Tangga/Pekerja Rumah Tangga Migran yang menjadi korban TPPO, disertai kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kriminalisasi," lanjut Thaufiek.

Kasus lainnya yang pernah mencuat adalah kasus `suami gadaikan istri` di Lumajang, Jawa Timur. Kemudian kasus artis berinisial `VA` yang diyakini Komnas Perempuan merupakan korban perdagangan manusia, tetapi dijerat UU ITE.

Pengacara publik, Ermelina Singereta, mengaku telah mendampingi sejumlah kasus korban pedagangan manusia.

Kasus perdagangan manusia salah satunya justru dilakukan oleh anggota keluarga terdekat, kata Erna-sapaan Ermelina.

Salah satunya pendampingan yang pernah ia lakukan adalah terhadap seorang perempuan yang justru dijadikan pekerja seks oleh ibunya sendiri di Jakarta beberapa tahun lalu.

"Supaya pelanggannya itu tidak berlari ke pelanggan-pelanggan yang lain. Jadi di situ ada proses kaderisasi yang dilakukan orang terhadap anak-anaknya," kata Erna.

Dalam kasus suami yang `menjual` istrinya atau orangtua yang menjadikan anaknya sebagai pekerja seks, Ermelina menilai salah satu sumber masalahnya adalah ekonomi seperti kemiskinan dan tak ada lapangan pekerjaan.

"Karena masyarakat kita itu di saat misalnya orang tua terhadap anaknya, ada penguasaan psikologis," lanjut Erna.