Merajalela, Penipuan Ala Influencer Instagram di Indonesia
- dw
Menurutnya dengan membeli bot, akan menjaga jumlah pengikut influencer karena bot sejatinya tidak melakukan interaksi. “Beda dengan bot, yang sekali follow mereka tidak akan melakukan unfollow,” imbuh Pratama.
Lebih lanjut Pratama mengimbau para influencer untuk membuat konten secara bijak tanpa membuat koten yang bersifat kontroversi atau yang bersifat jahil (prank). Dengan begitu menurutnya akun asli akan mengikuti, like, dan memberikan komentar nyata kepada mereka. Pihak perusahaan pun juga harus lebih selektif dalam menyewa jasa seorang influencer.
“Namun bagi brand yang salah menggunakan agency atau endorser maka mereka hanya buang-buang uang, karena kontennya tidak sampai ke publik yang sebenarnya,” kata Pratama.
Micro influencers
Dalam rilisnya, A Good Company membagi influencer Instagram ke dalam tiga tipe, yakni macro influencers yang memiliki seratus ribu hingga lebih dari satu juta jumlah pengikut, mid influencers yang memiliki dua puluh ribu hingga seratus ribu jumlah pengikut, dan micro influencers yang memiliki seribu hingga dua puluh ribu pengikut. Berdasarkan engagement pods-nya (like dan komentar), micro influencers adalah tip influencer yang memiliki anomali terbesar (40,29%).
Hal ini diduga karana perusahaan lebih suka menyewa jasa micro influencers yang memiliki keterlibatan secara langsung dengan para pengikutnya, namun kerap dihargai secara tidak proporsional sehingga mendorong mereka untuk membeli banyak akun palsu.
Kepada PRWeek, CEO A Good Company, Anders Anarklid, mengaku yakin akan adanya aktivitas penipuan dalam bisnis influencer marketing. Hal inilah yang mendorong A Good Company untuk melakukan penelitian.
“Kami menyarankan untuk melihat lebih jauh korelasi antara angka pengeluaran pemasaran influencer Anda dengan angka penjualan Anda. Bisa jadi Anda menghabiskan sebagian besar anggaran untuk para influencer tanpa pengikut organik,” tutur Anarklid.