Perang Dingin Teknologi Amerika Serikat dan Huawei

Huawei.
Sumber :
  • Asia Times

VIVA – Perang Dingin atau Cold War adalah istilah yang menunjukkan ketegangan sekaligus kompetisi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, sekarang Rusia, pada periode 1947-1991. Kala itu, persaingan terjadi dalam mempertahankan ideologi serta hegemoni dipelbagai kawasan.

5 Teknologi Global yang Harus Diadopsi di Indonesia

Kini, Perang Dingin bangkit kembali. Namun kali ini AS tidak berseteru dengan Rusia melainkan China lewat raksasa teknologi mereka, Huawei. Ya, dunia sekarang tengah dihadapi Perang Dingin Teknologi (Tech Cold War). Bahkan, negara-negara Eropa sampai ikut-ikutan Paman Sam 'menghukum' Huawei.

Makin meruncingnya perang dagang ini sampai membuat Pendiri dan Kepala Eksekutif Huawei, Ren Zhengfei, geleng kepala. Ia seakan tidak percaya kalau perusahaan-perusahaan teknologi di Benua Biru itu mengikuti jejak rekan-rekannya dari AS.

48 Tahun Taiwan Technical Mission di Indonesia, TETO Dorong Peningkatan Kerja Sama Sektor Pertanian

Bukan tanpa alasan mengapa Ren begitu heran dengan keputusan tersebut. Sebab, sebelumnya ia tidak begitu pusing dengan embargo AS lantaran beberapa komponennya bisa dipasok dari mitra mereka dari Eropa. Dan, hal itu sudah diungkapkannya dalam sebuah wawancara, seperti dikutip dari ZDNET, Senin, 27 Mei 2019.

Deputy Chairman Huawei, Ken Hu.

Egi-Syaiful Siap Latih dan Damping Pedagang Lampung Selatan Adaptasi dengan Teknologi
Deputy Chairman Huawei, Ken Hu.

Ren juga mengaku sudah mengumpulkan persediaan chip dan mengembangkan sistem operasinya sendiri untuk berjaga-jaga andaikata perang dagang AS dan China makin memanas.

"Apabila pasokan dari mitra kami tidak mencukupi maka kami tidak akan menghadapi masalah. Ini karena kami dapat memproduksi semua chip premium sendiri. Dalam 'masa damai', kami mengadopsi kebijakan '1+1' yang artinya setengah komponen chip dari mitra AS dan setengah dari Huawei," kata Ren.

"Kami pun tidak berpikir Eropa akan mengikuti jejak Amerika Serikat yang 'menutup diri' dengan Huawei," ungkapnya, menambahkan. Pernyataan Ren ini keluar setelah raksasa semikonduktor asal Inggris, Arm, menginstruksikan untuk menangguhkan kerja sama pasca-AS memasukkan Huawei dan 70 entitas lainnya ke dalam Entity List.

"Kami mematuhi semua aturan terbaru yang ditetapkan oleh pemerintah AS. Kami tidak mau berkomentar lebih jauh lagi," demikian keterangan resmi Arm. Tak pelak, keputusan Arm menjadi pukulan besar bagi Huawei, karena chip Kirin menggunakan arsitektur berdasarkan yang dibuat oleh perusahaan perancang chip Inggris itu.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Sementara itu, Deputy Chairman Huawei, Ken Hu, mengibaratkan embargo akibat perang dagang ini seperti membangun Tembok Berlin.

Berbicara di Konferensi Potsdam di Berlin, Jerman tentang Keamanan Dunia Maya pada Kamis, 23 Mei lalu, Hu mengatakan bahwa 'memagari' Huawei sama saja menciptakan preseden buruk yang akan mempengaruhi pasar global serta mengganggu persaingan bisnis yang adil.

"Kami tidak ingin melihat tembok baru dalam perdagangan dan teknologi seperti halnya Tembok Berlin. Kami pun tidak ingin melalui pengalaman yang menyakitkan," keluh Hu.

Saat ini Huawei berada di tengah masa tenggang 90 hari, yang artinya mereka masih dapat bertransaksi bisnis dengan mitranya dari AS sebelum Entity List resmi berlaku pada 19 Agustus 2019.

Sejumlah perusahaan teknologi yang sudah meninggalkan Huawei antara lain Alphabet Inc - induk usaha Google, Microsoft, Panasonic, Toshiba, Softbank dan KDDI, Taiwan Chunghwa Telecom dan Taiwan Mobile, Intel Corp, Qualcomm Inc, Xilinx dan Broadcom Inc.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya