Pembatasan Media Sosial Dinilai Tepat, Harus Ada 'Rule of Law'
- U-Report
VIVA – Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan, sepanjang Agustus 2018 hingga April 2019, ditemukan 1.731 informasi palsu atau hoax. Sedangkan, pada April 2019, terdapat 486 hoax di mana dari jumlah tersebut sebanyak 209 masuk ke dalam kategori hoax politik.
Hoax politik yang beredar antara lain berupa kabar bohong yang menyerang capres-cawapres, parpol peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum.
Langkah pemerintah membatasi penyebaran konten di media sosial di sejumlah daerah dinilai keputusan yang tepat. Sebab, konten hoax yang membanjiri jagat media sosial belum tentu sesuai fakta. Terlebih setelah meletusnya kericuhan antara aparat keamanan dengan massa pada Rabu dini hari, 22 Mei 2019.
Pemerhati komunikasi Fetty Azizah menilai langkah pemerintah mengambil keputusan tegas tersebut layak diapresiasi. Menurutnya, di negara demokrasi seperti Indonesia tanpa ketertiban hanya akan menghasilkan sikap anarki.
Fetty menegaskan bahwa konten hoax yang tidak berbasis fakta dapat menimbulkan instabilitas negara. "Marak beredarnya video, foto, dan konten lain di media sosial pada kenyataannya tidak bisa dijamin penyedia platform seperti Facebook, Instagram maupun Whatsapp," ungkap dia, lewat keterangannya, Jumat, 24 Mei 2019.
Ia lalu mencontohkan beberapa negara maju seperti Jerman dan Singapura sudah mengatur penggunaan media sosial. Bagi pengguna yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi hukum.
"Negara harus membuat aturan yang membatasi konten media sosial semata-mata untuk menciptakan ketertiban (order). Jadi untuk alasan menjaga ketertiban umum, memang diperlukan pembatasan-pembatasan," ujar Fetty.
Ia juga menegaskan bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat bukan berarti tanpa aturan. "Demokrasi hanya bisa tegak bila ada rule of law yang menjadi rambu-rambu bagi masyarakat warga," jelasnya.
Sementara itu, Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Donny Gahral Adian, berpendapat langkah tegas pemerintah tersebut sudah tepat karena kebebasan berpendapat dalam hak asasi manusia tidak mutlak.
"Kebebasan berpendapat yang menghasut, memecah-belah, memanipulasi informasi bisa dibatasi apalagi saat situasi genting di mana keselamatan bangsa dan negara menjadi taruhannya," tutur dia.
Donny menuturkan supaya tercipta masyarakat yang sehat dan kritis, ia mengajak pengguna media sosial untuk tidak mudah mem-forward informasi dari sumber yang meragukan. "Kita tidak ingin masyarakat tidak termakan dengan propaganda agitasi yang tidak masuk akal," jelasnya. (ann)