Merger dan Akuisisi Telekomunikasi Terhalang Aturan Frekuensi
- panoramio.com
VIVA – Kementerian Komunikasi dan Informatika dikabarkan sedang menggodok aturan mengenai merger dan akuisisi di industri telekomunikasi. Sayangnya, kendala lain yang menjadi halangan adalah belum adanya aturan terkait kepemilikan frekuensi hasil merger dan akuisisi tersebut.
Dikatakan Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI), Ismail, bahwa merger dan akuisisi sejatinya telah berjalan otomatis di industri telekomunikasi tanpa harus ada aturan. Namun, memang belum ada aturan spesifik yang mengatur mengenai kepemilikan frekuensi hasil merger perusahaan telekomunikasi di Indonesia.
"Sebenarnya frekuensi itu bukan aset perseroan yang dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi. Frekuensi adalah sumber daya terbatas yang merupakan milik negara. Operator telekomunikasi hanya memiliki hak pengguna frekuensi," kata Ismail, saat Talkshow dan Seminar bertajuk 'Konsolidasi Jurus Pamungkas Sehatkan Industri Telekomunikasi', beberapa waktu lalu.
Nantinya, kata Ismail, Kominfo akan membuat regulasi yang mengatur perhitungan mengenai berapa besar alokasi frekuensi yang layak bagi perusahaan telekomunikasi hasil merger. Ismail menegaskan tak bisa juga mengubah filosofi yang ada di UU bahwa frekuensi bisa langsung ditransfer kepada perusahaan hasil merger.
"Jika itu sampai terjadi maka akan melanggar peraturan perundangan yang ada karena frekuensi adalah milik negara, bukan perusahaan. Jadi aturan yang baru nanti kita dipastikan tak akan mengubah filosofi awal tentang kepemilikan frekuensi," papar Ismail.
Saat ini Kominfo telah membuat beberapa pilihan draft aturan mengenai pengaturan frekuensi pascakonsolidasi industri telekomunikasi. Pertama, frekuensi seluruhnya dikembalikan ke operator.
Kedua, sebagian dari frekuensi yang dimiliki operator seluler setelah konsolidasi ditarik, kemudian dilelang. Ketiga, sebagian ditarik kemudian ditahan dulu untuk beberapa saat dan nantinya akan di realokasikan kepada perusahaan hasil konsolidasi.
Kominfo jangan sewenang-wenang
Seketaris Jenderal Pusat Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, Ridwan Effendi, angkat bicara mengenai draft tersebut. Pilihan ketiga dalam draft tersebut dianggapnya berpotensi melanggar UU.
Harusnya, menurut dia, frekuensi dikembalikan ke pemerintah untuk kemudian dievaluasi secara menyeluruh. Evaluasi yang dimaksud adalah komitmen pembangunan yang akan dilakukan perusahaan pasca konsolidasi, jumlah pelanggan dan kebutuhan frekuensi.
"Memang aturan yang ada memberikan kewenangan kepada Menkominfo. Namun itu tak boleh disalahgunakan atau bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Menteri tak bisa seenak dan sewenang-wenang dalam menetapkan atau membuat aturan. Aturan dan kewenangan yang melekat pada Menkominfo harus sesuai dengan UU," tutur Ridwan.
Dalam penjelasan PP 53 Tahun 2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit disebutkan bahwa spektrum frekuensi radio dan orbit satelit merupakan sumber daya alam terbatas, dan penggunaan spektrum frekuensi radio harus sesuai dengan peruntukannya.
Sementara itu, pada Pasal 25 PP 53 Tahun 2000 ditegaskan bahwa Pemegang izin stasiun radio yang telah habis masa perpanjangannya dapat memperbaharui izin stasiun radio melalui proses permohonan izin baru. Selain itu izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, kecuali ada persetujuan dari Menteri. (sar)