Mantan Dubes RI Minta Presiden Terpilih Sediakan Dana Riset Memadai
- Dok. VIVA/ Zahrul Darmawan
VIVA – Mantan Direktur Jenderal Hubungan Internasional-Kementerian Luar Negeri, Eddy Pratomo, menilai anggaran atau dana riset pada perguruan tinggi di Indonesia belum memenuhi standar ideal, dan bahkan masih rendah jika dibanding dengan sejumlah Negara di Asia.
"Ya, anggaran riset kita belum ideal. Di luar negeri besar sekali. Saya lima tahun di Jerman, sangat jauh. Di kita masih minim. Idealnya dua persen dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Saat ini baru nol koma sekian,” katanya usai dilantik sebagai Kepala Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional, Universitas Pancasila, Jakarta pada Sabtu 6 April 2019.
Eddy yang juga sempat menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Jerman itu berharap, siapa pun yang kelak akan memimpin bangsa ini, dapat memperhatikan hal tersebut, khususnya memperkuat di bidang pendidikan.
“Kita harus unggul secara SDM (Sumber Daya Manusia), jangan baca buku yang lama-lama lagi. Siapa pun yang memimpin, Indonesia harus maju dan menang, kalau bisa pendidikan diperkuat,” katanya
Dirinya juga mengatakan, jika dibanding dengan sejumlah di tingkat Asia saja, dana riset perguruan tinggi di Indonesia masih tertinggal jauh.
“Kalau dibandingkan di Asia kita rendah, kalah sama Thailand, Vietnam, Singapura dan Malaysia. Karena itu kita (Universitas Pancasila) ikut mendorong agar dana riset diperkuat.”
Penguatan dana riset, kata Eddy dinilai penting sebab tantangan ke depan adalah perang teknologi dan pemikiran. Karena itu, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mencetak generasi unggul dan berdaya saing tinggi.
“Kita harus siap-siap. Alhamdulillah UP (Universitas Pancasila) sudah terakreditasi A. Dari 4.000 lebih kampus kita di urutan 59 di Indonesia, ini capaian luar biasa. Visi kita nasional dan internasional unggul dengan berbasis pada Pancasila,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Ketua Pembina Yayasan Universitas Pancasila, Siswono Yudo Husodo mengatakan, ilmu pengetahuan telah melaju sangat pesat. Katena itulah, ia mengimbau pada para pendidik di kampus tersebut agar lebih modern dalam memberikan ilmu pengetahuan.
“Kita tidak boleh melihat ke belakang harus lihat ke depan karena perubahan begitu cepat. Karena itu saya tekankan pada para dosen harus menggunakan buku-buku mutakhir, ajak anak melihat orientasi ke depan,” katanya
Mantan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat era Soeharto itu juga mengatakan, lapangan kerja tidak terbatas hanya di Indonesia. Namun itu semua bisa dicapai jika memiliki kemampuan atau skill yang siap bersaing.
“Saya melihat lapangan kerja tidak terbatas hanya di Indonesia. Saya baru pulang dari Taiwan ada 230 ribu TKI (Tenaga Kerja Indonesia), di Hongkong ada 180 ribu TKI, Malaysia ada 548 ribu TKI. Di sana bahkan ada yang menempati jabatan strategis dan berkembang,” katanya.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan di Indonesia di mana jumlah tenaga kerja asing masih sangat minim. Di sisi lain, universitas memiliki peranan penting untuk mempersiapkan generasi gemilang, salah satunya bekerja sama dengan perguruan tinggi ternama di luar negeri.
“Jadi, ke depan lapangan kerja luar biasa. Sementara ini tenaga kerja Cina di Indonesia cuma 18 ribu orang, ributnya enggak karuan. Bandingkan dengan TKI di luar negeri. Kita sudah masuk dunia tanpa batas. Teknologi yang nyaris tanpa hambatan. Kita tidak bisa gunakan pola pikir lama.”