Hancurnya Bisnis Pedagang Seluler Indonesia, Merugi Setengah Triliun
- ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
VIVA – Nasib bisnis pedagang seluler di Indonesia makin pelik. Pedagang yang yang tergabung dalam asosiasi Kesatuan Niaga Celluler Indonesia atau KNCI merasa makin suram dengan bisnis mereka dampak implementasi pengetatan registrasi pengguna kartu prabayar.
Menurut KNCI, aturan registrasi yang mengancam ladang bisnis pedagang seluler yakni Surat Edaran Ketetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Larangan Penggunaan Data Kependudukan Tanpa Hak dan/atau Melawan Hukum untuk Keperluan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi kepada seluruh Penyelenggara Seluler.
Surat edaran ini merupakan pengantar dari Ketetapan BRTI Nomor 03 Tahun 2018 tentang Larangan Penggunaan Data Kependudukan Tanpa Hak dan/atau Melawan Hukum untuk Keperluan Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Ketetapan BRTI itu isinya salah satunya melarang terjadinya registrasi Nomor Pelanggan Prabayar (MSISDN) dengan jumlah yang tidak terbatas, tanpa hak atau melawan hukum.
"Sejak BRTI mengeluarkan aturan itu, sistem registrasi kartu perdana prabayar di outlet yang sebelumnya telah disepakati banyak pihak pada 14 Mei 2018 dicabut atau tidak ada lagi," ujar Ketua Umum KNCI, Azni Tubas dalam keterangannya, Senin 25 Februari 2019.
Dampak dari pengetatan registrasi prabayar tersebut, pria yang akrab disapa Abbas itu mengungkapkan, selama 21-23 Februari 2019 telah terjadi ‘penghangusan’ kartu perdana milik outlet seluler seluruh Indonesia.
Abbas menuturkan, kartu perdana yang hangus itu sejatinya masih dalam masa aktif namun terblokir karena tidak bisa diregistrasi menggunakan NIK dan KK.
Perkiraan KNCI, ada lebih dari 1 juta kartu perdana yang hangus seluruh Indonesia dalam periode tersebut. Belum lagi ditambah dengan kerugian kartu perdana yang hangus karena tak terjual sepanjang November 2017 sampai Juni 2018, akibat berlakunya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12 tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi yang mengatur pembatasan satu Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk registrasi tiga nomor kartu SIM.
Dampaknya kerugian nilainya sangat besar.
"Taksiran kami mencapai Rp500 miliar se-Indonesia," ujarnya.
Nilai kerugian itu, kata Abbas, adalah kerugian yang minimal. Dia merinci jumlah outlet seluler di bawah KNCI seluruh Indonesia mencapai sekitar 300 ribu unit. Jika hitungan kasar rata-rata outlet cuma menjual 50 keping kartu perdana saja dalam setahun, maka kerugian per outlet bisa mencapai Rp1,5 juta. Maka dari skema minimal tersebut, dampak kerugian setengah triliun rupiah dalam periode pendek yang diderita outlet seluler seluruh Indonesia, adalah angka yang wajar.
Mengingat kekecewaan tersebut, KNCI mengirim surat kepada BRTI untuk mengeluhkan kondisi dan nasib bisnis mereka.
Surat bernomor 09B/DPP/KNCI/II/2019 yang ditujukan kepada komisioner BRTI itu dibuka dengan sindiran yakni kebijakan lembaga tersebut menyengsarakan outlet seluler di Indonesia.
"Kepada Komisioner BRTI di Jakarta. Semoga aktivitas dan kebijakan BRTI yang telah menyengsarakan kami mendapat ampunan dari Tuhan yang Maha Esa," demikian pembuka surat tersebut
Abbas mengaku bingung dengan nasib pedagang dan outlet seluler ke depan. Sudah beragam upaya dilakukan namun nasib mereka makin tercekik dengan pengetatan registrasi.
"Kami bingung soal harapan ya. Pemerintah dan Kominfo bergeming. Langkah lain tetap kami lakukan. Surat ke BRTI ini menunjukkan bahwa kami tetap melawan. Surat ini sebagai bentuk sikap saja," ujarnya.
Berikut sebagian kutipan dari surat KNCI yang ditujukan ke BRTI:
"Kerugian dan kehancuran usaha kami sebagai akibat dari peraturan yang bapak-bapak komisioner BRTI bersama dengan Kominfo, sepertinya tidak menjadi perhatian. Bahkan seolah-olah kami bukan lagi rakyat Indonesia yang menjadi tanggung jawab pekerjaan BRTI dan Kominfo. Mengapa Anda semua bekerja justru untuk kehancuran jutaan kami yang merupakan rakyat Indonesia? kalaulah Anda semua tidak mampu membuat kebijakan dan peraturan yang menguntungkan semua pihak, maka seharusnya Anda jangan membuat peraturan yang menghancurkan (walaupun hanya satu pihak)". (dhi)