Pembatasan Forward Message WhatsApp Diyakini Tak Efektif Tangkal Hoax
- ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
VIVA – WhatsApp baru saja menggulirkan fitur terbarunya di Indonesia, yang dianggap sebagai sebuah kemunduran. Pasalnya, fitur itu membatas pesan forward hanya bisa sampai 5 kali. Padahal sebelumnya bisa forward sampai 20 kontak.
Pembatasan forward message ini sejatinya sudah dilakukan uji coba di India. Namun baru digulirkan sekarang di Indonesia. Sebenarnya, ini bukan fitur yang khusus digulirkan untuk negara Indonesia yang ingin melaksanakan pemilu, tapi seluruh pengguna WhatsApp di dunia. Tujuannya cuma satu, hanya untuk mengurangi penyebaran hoax yang banyak disebar via WhatsApp.
Lalu apakah cara ini akan berhasil untuk mengurangi penyebaran hoax, khususnya terkait dengan pemilu dan ujaran kebencian? Sayangnya tidak. Setidaknya ini yang dipercaya oleh pengamat industri telekomunikasi dari Indotelko Forum, Doni Ismanto.
Banyak cara Siasati
Dikatakan Doni, langkah ini dianggap sebagai barrier yang dilakukan oleh WhatsApp dan digunakan Kominfo jelang pemilu karena adanya informasi yang menguatkan jika penyebaran hoax di India menurun usai dilakukan uji coba fitur ini. Namun data itu diyakini tak akan sama dengan apa yang ada di Indonesia karena ada fasilitas copy paste.
"Pembatasan ini hanya akan memberikan efek ke orang agar kesulitan menyebar pesan. Namun di balik itu bisa dilihat sisi hukumnya, yakni perbedaan antara forward dengan copy paste. Kalau susah mem-forward, biasanya konten akan di copy paste lalu kirim. Nah, di sini harus dipahami kalau ada jerat hukum yang mengintai," ujar Doni saat dihubungi Viva.co.id, Selasa, 22 Januari 2019.
Dikatakannya, pengguna WhatsApp yang langsung mem-forward informasi, jika terkena kasus hukum karena penyebaran hoax, bisa berdalih 'saya hanya mem-forward'. Jadi tidak ada konten yang diciptakan oleh tangan mereka. Sedangkan jika meng-kopi paste, bisa masuk kategori membuat atau mengubah informasi.
"Ini yang membedakan jenis hukumannya, dan hal semacam ini harus dipahami secara jelas oleh warganet pengguna WhatsApp," kata dia.
Harusnya Twitter, bukan WhatsApp
Doni juga menyoroti langkah Kominfo yang terkesan sebagai PR dari WhatsApp untuk mengumumkan fitur ini, yang sejatinya bukan khusus dibuat karena tekanan pemerintah Indonesia. WhatsApp sebelumnya memang sudah mengumumkan hal ini di sebuah acara edukasi pemilu bekerja sama dengan Bawaslu.
"Saya nonton siaran via akun medsos Kominfo sedih liat Pak Menteri semangat sekali menjelaskan teknis, soal itu. Harusnya itu urusan pihak WhatsApp. Pak Menteri itu harusnya menegakkan aturan yang belum dijalankan WA atau OTT lainnya. Misal soal penempatan data center atau kepatuhan pajak dan KBLI. Kalau mau 'manggung', jangan gitulah," kata Doni.
Lagipula, lanjut Doni, konten negatif paling besar itu justru berasal dari platform Twitter, bukan WhatsApp. Statistik ini pernah diungkap Kominfo yang menyebut jika konten negatif paling banyak di Twitter. Namun sampai saat ini, pemerintah belum kelihatan 'garang', malah Twitter kesannya adem ayem.
Literasi dan aturan yang tegas
Doni percaya, untuk bisa menghalau hoax dan konten negatif yang tersebar di dunia maya, adalah literasi digital dan kebijakan hukum yang tegas. Sedangkan teknologi yang digunakan untuk mengatasi isu-isu tersebut, kerap bisa disiasati.
"Kunci utama, ya orangnya. Lihat aja UU ITE, udah banyak yang kena tapi tetap tidak kapok. Masih banyak juga yang menyebar hoax dan konten negatif," kata dia.
Lebih lanjut Doni juga memprediksi jika pembatasan ini bisa merugikan masyarakat, khususnya penjual online yang berdagang melalui WA. Atau bisa juga lembaga pemerintah yang kerap mem-forward informasi positif.
"Tidak sedikit informasi dan konten positif yang jadi viral karena aksi forward message," kata Doni.