Artificial Intelligence Dilibatkan untuk Identifikasi Konflik Agama
- www.pixabay.com/PIRO4D
VIVA – Para peneliti dari Universitas Oxford, Inggris, melakukan uji coba software atau perangkat lunak untuk meniru manusia dengan menggunakan algoritma kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Perangkat lunak ini untuk mensimulasikan tindakan yang didorong oleh suatu kepercayaan atau keyakinan. Dikutip dari BBC News, Rabu, 5 Desember 2018, model yang mereka usung mewakili dari beberapa etnis, ras, dan agama.
Mereka berharap software tersebut bisa membantu pemerintah dalam menanggapi insiden, seperti serangan teror di ibu kota Inggris, London, baru-baru ini.
Para peneliti juga mengamati masalah yang ada di Irlandia Utara, yang disebut dengan kecemasan xenophobia, di mana fenomena tersebut telah meningkat, dan bahkan melibatkan kekerasan fisik yang ekstrem.
Sebab, konflik yang terjadi bukan saja soal agama, tetapi budaya dan politik. Konflik ini terus berkepanjangan hingga tiga dekade dan merenggut 35 ribu nyawa tak berdosa.
Lalu, ada model komputer yang menggunakan skenario kerusuhan di Gujarat, India, pada 2002. Kala itu, dua ribu orang tewas selama tiga hari akibat konflik komunal antara Muslim dan Hindu.
Kendati demikian, seorang ahli IT bernama Noel Sharkey menilai jika perangkat tersebut akan memakan banyak waktu sebelum benar-benar bisa digunakan.
"Nantinya, alat ini bisa menjadi proyek penelitian, sebagai alat pemikiran untuk menganalisis faktor-faktor yang ada dalam konflik agama," kata Sharkey.
Menurut penulis yang meneliti soal konflik agama, Justin Lane, akar penyebab kekerasan agama terletak pada bagaimana pikiran manusia memproses informasi dari luar.
Ia mengatakan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konflik agama meningkat karena keyakinan yang dinilai sakral itu mendapat perlawanan.
Namun, kekerasan yang ada hanya memiliki persentase 20 persen dari skenario yang dimodelkan. Lane mengatakan bahwa kekerasan agama bukan perilaku standard manusia.
"Hanya ketika keyakinannya itu dilawan, komitmen mereka terhadap keyakinannya itu dipertanyakan, hingga akhirnya terjadilah gejolak," jelas Lane.
Ia juga menambahkan manusia rutin menerima informasi yang ada di sekitarnya, namun terkadang juga menerima informasi kelompok yang berada di luar jangkauannya. Informasi tersebut memicu keadaan psikologi, bahkan ketika yang disebar adalah palsu atau hoax.